Tiga Dekade

Subagio
4 min readSep 25, 2022
IG: masbag

Half of this city turning their lights on

Like half of this city has an idea

Cars slowly passing, right down on main street

Don’t keep on driving, let me say something

Entah mengapa dalam beberapa bulan terakhir, lagu-lagu dari The Paper Kites jadi yang paling sering kudengar. Entah saat bekerja, entah saat berkendara, atau saat ingin mendengarkan musik sembari leyeh-leyeh, setidaknya ada satu lagu dari mereka yang pasti masuk ke dalam playlist.

Katanya, lagu-lagu band dari Aussie ini memang paling cocok didengar sembari merenung, naik bus sembari melihat ke luar jendela, atau saat minum teh hangat sembari melihat hujan. Mendengarkannya seperti membuat waktu setidaknya melambat untuk sementara, setidaknya memberikan kesempatan bagiku untuk mencerna kalau usiaku sudah memasuki pertengahan tigapuluhan, bukan lagi anak muda yang bisa iseng motoran ke mana-mana untuk mengambil foto saat masih kepala dua.

Anehnya, masa kecil, masa remaja, atau masa-masa kuliah seperti masih terasa sangat dekat di belakang. Aku masih bisa merasakan dinginnya air sungai yang dijadikan tempat main di Purbalingga, sumpeknya selep dan repotnya membawa sepeda motor dengan sekarung gabah di jok belakang, melihat dengan jelas ingatan tentang indahnya kapuk yang beterbangan tertiup angin di depan rumah saat masih SMP, hingga guyonan-guyonan segar yang masih terdengar dengan jelas dari teman sekumpulan setelah salat dhuhur di musala Fakultas Perikanan.

Padahal, jika dirunut, semua terjadi belasan tahun silam. Bahkan, mungkin sudah ada anak-anak yang lahir pada saat aku masuk kuliah yang sudah mulai kuliah pada tahun ini. Aku memang sudah tua, mungkin sudah mulai melambat dan terkejar oleh waktu. Meski banyak orang berkata muka dan perawakanku belum terlihat seperti orang berumur 30-an, realitanya uban di rambutku sudah semakin jelas, dan perubahan wajah serta tubuh sudah semakin terasa.

Tatkala varian Delta Covid-19 mengamuk pada pertengahan 2021 lalu, aku masih tidak percaya jika satu teman terdekatku akan ikut menjadi korbannya. Beberapa rekan lain, tetangga, keluarga, dan orang-orang yang kukenal juga meninggal. Sejak saat itulah, pikiranku seperti semakin sadar, kata dan kabar kematian bakal semakin sering menyapa, apalagi saat usiamu melebihi tiga dekade.

Ironisnya, hanya beberapa minggu sebelum teman dekatku meninggal, aku dan rekan sekumpulan saat kuliah lainnya sempat membahas hal yang cukup aneh tentang usia dan kematian. Katanya, kalau kau sudah hidup sampai melebihi usia 30-an, maka sisa hidupmu adalah bonus. Apalagi jika kau sudah menikmati masa muda yang menyenangkan, menikmati banyak waktumu sendiri saat muda untuk berpetualang, dan kemudian menemukan jodoh.

Konon, pernikahan juga seringkali menjadi waktu terakhir bagimu dan teman-temanmu saling menyapa. Ada yang kemudian pergi jauh dan kau baru akan mengetahui lagi kabarnya setelah meninggal, meski memang ada yang sesekali masih bisa kau temui, kau dengarkan suaranya, atau setidaknya kau jabat tangannya, walau terkadang obrolannya sudah banyak berbeda dari yang biasa kalian bicarakan saat muda.

Tapi, entah mengapa, dalam beberapa waktu belakangan, waktu seperti terasa lebih melambat dari biasanya, Justru hal ini kurasakan saat aku kembali mulai bekerja di kantor, setelah sekian tahun lebih menjadi freelancer atau pekerja remote yang membuatku lebih sering berada di rumah.

Aku lebih menikmati perjalanan dengan sepeda motor, menikmati waktuku lebih banyak saat berada di gunung (sesuatu yang nggak biasa untuk orang yang lebih suka melihat pantai), atau saat melihat anak tiba-tiba bisa membaca, menulis, dan menggambar dalam beberapa waktu belakangan.

Aku bahkan menikmati hobi baru; selalu mendongak ke atas saat berada di atas sepeda motor yang berhenti di sisi timur perempatan Jalan Sriwijaya. Di jalan yang ada di persis sebelah selatan Pasar Peterongan tersebut, masih ada pepohonan besar dengan daun yang rimbun sehingga aspal di bawahnya tidak pernah tersentuh matahari. Dengan sinar matahari pagi yang belum menyengat, embusan angin menggoyang daun-daun tersebut dengan anggun. Sesekali, aku juga masih bisa melihat sejumlah burung gereja, lebah, atau kupu-kupu di sela-sela dedaunan yang terkadang menyingkap langit yang masih biru.

Waktunya sebentar, karena lampu merah di sana juga tidak begitu lama. Tapi, setidaknya aku selalu mendapatkan ketenangan dan rasa siap untuk bekerja di kantor setelahnya. Rasa tenang untuk berkata, setelah hidupmu yang luar biasa dalam tiga dekade sebelumnya, aku juga akan bisa menikmati dekade-dekade hidup berikutnya.

Kabut tebal yang diterjang bus yang melintas di jalur Temanggung — Wonosobo,

Jutaan bintang yang bersinar terang di langit dan diiringi dengan suara pengajian dari puluhan musala yang bersahutan setelah jam sahur saat bulan puasa,

Riuhnya mahasiswa Sastra yang berpindah kelas setiap kali ganti jam,

Indahnya pemandangan bunga akasia kuning yang tertiup angin dan jatuh ke tanah,

Soto pagi di Genuk Krajan setelah tongkrong di pantai bersama teman-teman kuliah,

Tenangnya riverside Jeonju dengan ilalang yang tinggi,

Es krim teh hijau dari Boseong yang dimakan sembari nongkrong di bawah rindangnya pinus yang tinggi,

Salju turun di suhu -6 di Suwon,

dan obrolan dengan rekan-rekan kerja di Jogja sehari setelah Aguero membuat Manchester City juara liga inggris.

There’s nothing wrong with a little time, a little space

For the memories, for the good things

--

--