Terang Bulan Sebelum Listrik Tiba

Subagio
3 min readDec 2, 2020
Penerangan sebelum ada listrik. (Flickr/Michael Pollak)

Sepertinya saat itu aku masih balita karena yang aku ingat, sebelum masuk TK, aku sudah bisa membaca nama koran Suara Merdeka dengan lancar di bawah cahaya lampu. Saat itu malam hari. Aku tinggal di sebuah rumah dengan dinding entah kayu entah anyaman bambu, hanya disinari dengan cahaya teplok yang kuning. Api di dalamnya dilindungi semacam kaca sehingga saat pagi, biasanya kaca tersebut menghitam karena terkena asap semalaman dan harus dibersihkan.

Aku di kasur bersama dengan ibuku. Entah apa yang kami bicarakan saat itu. Yang pasti, ada suara radio kuno yang harus diisi dengan batu baterai ukuran besar tiga biji. Ibu sering mendengarkan lagu-lagu barat. Biasanya, di pagi hari, batu baterai itu dijemur di atas seng depan rumah. Layaknya melakukan recharging begitu. Entah bagaimana ceritanya, jurus ini sepertinya selalu berhasil.

Di tengah cahaya kuning nang redup dari teplok, sebagian besar malam-malam masa kecilku dihabiskan hanya dengan ibuku. Adikku yang berjarak tujuh tahun denganku belum lahir. Aku sampai sekarang tidak pernah mengerti, bagaimana ibuku yang nggak lulus SMEA bisa membuatku bisa membaca sebelum TK, dan menjadikanku kutu buku sampai-sampai sekarang saja hobi buka Wikipedia setiap hari demi mencari informasi baru. Semua diajarkan di tengah redupnya cahaya oranye teplok yang membuatmu pasti akan tidur lebih cepat setiap malam.

Bapakku adalah tukang bangunan perantau, hingga sekarang. Entah di mana dia merantau saat itu. Bertemu dengannya setengah tahun sekali saja belum tentu. Sayangnya, hal ini membuatku nggak memiliki ikatan emosional atau kenangan masa kecil dengannya.

Kecuali satu. Saat itu ada layar tancap di lapangan utara desa. Kami berjalan kaki untuk mencapai lapangan itu. Melewati SD yang nantinya menjadi tempat sekolahku. Saat itu terang bulan purnama. Di masa itu, nggak adanya cahaya lain di malam hari membuat terang bulan serasa siang dalam versi yang lebih redup.

Nggak ada anak-anak yang nggak suka dengan terang bulan. Di tengah cahaya bulan ini, kami bisa saja kejar-kejaran di tanah lapang kecil di belakang masjid. Bermain gobak sodor, atau melakukan apa saja yang dilakukan anak kecil yang masih nggak tahu betapa sulitnya kehidupan yang harus dihadapi orang dewasa.

Film yang ditayangkan di layar tancap dibintangi oleh Barry Prima. Film kolosal gitu. Aku nggak ngerti jalan ceritanya. Tapi, film itu memberikanku trauma yang bertahan hingga bertahun-tahun lamanya. Di film itu, entah tangan siapa yang putus, terbang untuk mencekik leher orang lain. Banyak sekali korbannya. Aku sampai ketakutan kalau-kalau tiba-tiba saja ada tangan putus dan terbang yang akan mencekikku suatu hari nanti.

Ada banyak penjual kacang rebus dan jajanan lainnya di sana. Hanya, sebelum film berakhir di tengah malam, aku sudah terlelap. Aku digendong pulang di punggung. Melewati jalan di sisi sawah, gang sempit yang sisinya adalah kebon yang kabarnya angker. Di bawah cahaya bulan. Dengan setengah terjaga aku menyadari bahwa saat itu aku pulang ke rumah sebelum kembali masuk ke alam mimpi.

Aku baru mengenal televisi di entah kelas 2 atau kelas 3 SD. Itupun bukan punya keluarga sendiri. Dulu, hanya ada satu keluarga yang dianggap cukup berada yang memilikinya. Kami harus menyeberang jalan raya untuk mencapai rumah tersebut demi menonton Satria Baja Hitam. Di sana, ada sekitar 20 anak yang duduk dengan rapi agar tidak merepotkan sang pemilik rumah. Kami juga diam layaknya sedang menonton bioskop. Begitu Satria Baja Hitam mengalahkan monster, kita pun membubarkan diri karena salurannya biasanya akan diganti dengan yang lain.

Dua hari sebelum aku berangkat ke Korea pada 2009 lalu, entah mengapa nggak terpikir untuk tidur lagi setelah sahur. Saat itu bulan puasa. Aku keluar rumah untuk menikmati udara segar sembari mendengar lantunan orang-orang yang membaca Al-Quran setelah subuh yang bersahut-sahutan dari banyak mushola.

Semua lampu depan rumah di desa saat itu sudah dimatikan. Nggak ada satupun polusi cahaya. Langit dan suasananya benar-benar gelap. Tapi dihiasi dengan jutaan bintang yang terpancar terang. Suasana saat itu sangatlah indah dan samar-samar mengingatkanku tentang kehidupan sebelum listrik tiba. Saat dunia justru terlihat lebih terang dan masa depan terasa lebih cerah dibandingkan saat usia kita semakin menua.

--

--