Temaram Langit-Langit Kamar

Subagio
4 min readApr 11, 2021
Langit-langit kamar yang gelap. (medium.com/@Perspektif. — M. Rakha Ramadhan)

Child Center tempat aku menginap selama beberapa bulan berada persis di seberang Bomhotel yang beralamat 529–1 Dongoe-ri, Munnae-myeon, Haenam-gun, Jeollanam-do. Sampai sekarang, aku masih tidak mengerti mengapa ada hotel bertingkat di desa itu. Memang, tempat yang juga dikenal sebagai Usuyeong ini adalah pusat kecamatan, namun tetap saja lokasi ini sangat terpencil dan terisolir dari mana-mana.

Meski persis di pingir laut, nggak ada pantai bagus di situ. Adanya hanya pelabuhan nelayan kecil yang terkesan kumuh, dikelilingi dengan rumah-rumah yang juga kumuh dan kebanyakan hanya ditinggali orang tua. Sangat jarang menemukan remaja berusia SMA atau kuliah di sana karena kebanyakan sudah pindah ke kota yang lebih besar.

Memang, di Bomhotel ada restoran ayam emberan yang rasanya enak banget, tapi, siapa pula orang yang iseng mau nginep di sebuah hotel di desa yang cuma jadi tempat transit orang-orang yang mau nyebrang ke Pulau Jindo itu.

Meski sudah dua bulan tinggal di sana, perbedaan zona waktu membuatku nggak bisa tidur cepat. Bagaimana nggak, tengah malam di Usuyeong sama saja dengan pukul 22.00 di Kecamatan Sambungmacan. Zaman masih kuliah, jam segitu biasanya kita baru mulai memesan es teh ketiga dan mengambil gorengan kesekianbelas di Angringan Balik Maning Pleburan.

Sarah sudah pergi dari sana dan sedang muter-muter di India. Sementara Junseok sedang pulang ke Seoul. Tinggallah aku sendirian di gedung dua lantai itu. Dan karena ya nggak bisa tidur juga, akhirnya aku memilih untuk membuat teh dan pergi ke halaman luar.

Dari gerbang masuk Child Center yang ada di seberang Bomhotel, jalannya sedikit menanjak. Persis di samping jalan masuk itu, masih ada banyak pohon rimbun. Daunnya yang sudah kekuningan menumpuk di atas tanah karena memang sedang musim gugur. Jalan ini berhenti di sebuah gereja dengan halaman yang luas. Persis di sebelah gereja adalah rumah tempat orang tua nunutku tinggal.

Nongkrong di dekat tandon air biru itu di malam hari, wqwq. Btw, bangunan lantai dua itu terbuat dari plastik, lho.

Aku mengambil kursi plastik untuk duduk sambil menempatkan kaki selonjoran di atas pagar. Pemandangan di depanku jauh adalah jembatan penghubung ke Pulau Jindo yang dikenal dengan Namdo Bridge (Itu singkatan Haenam-Jindo). Jembatan itu dipenuhi dengan lampu warna-warni.

Suara mobil, dan sesekali bus dari jalan bebas hambatan yang nggak jauh dari situ beberapa kali terdengar. Diiringi dengan sahutan anjing-anjing yang menggonggong. Hingga saat ini, aku masih heran mengapa kebanyakan anjing di sana ditempatkan dalam kandang sempit dan nggak pernah diajak keluar. Selain itu, yang terdengar adalah kesunyian yang sangat terasa. Suara jangkrik pun nggak ada.

— — — — — — — — — — — -

Banyak orang yang berkata kalau saat sebelum dan bangun tidur adalah saat kita banyak memikirkan tentang hal apapun. Dan saat memikirkannya itu, kita sedang melihat langit-langit kamar yang temaram, karena lampu yang redup sebelum tidur, atau cahaya subuh yang masih sangat minim.

Hingga sekarang saat aku sudah punya istri dan anak, terkadang aku memandangi langit-langit kamar, memikirkan banyak hal, dan lucunya sampai ikut merindukan langit-langit kamar rumahku di Negeri Para Komuter.

Langit-langit kamarku dari SMP sampai kuliah adalah papan tripleks mengkilat yang ditempel begitu saja. Sementara itu, langit-langit di sebagian ruangan lainnya malah potongan papan kayu sehingga membuatnya mirip seperti tembok rumah kayu namun dijadikan plafon rumah.

Kalau aku pulang ke Purbalingga, di rumah keluarga besar ibuku dulu pernah nggak ada langit-langitnya . Jadi, pandangannya langsung ke genteng dan kerangka atap yang terbuat dari batang bambu. Hanya, ada semacam lelehan berwarna hitam seperti olesan tinta yang tebal di banyak tempat pada kerangka tersebut. Seringkali, aku membayangkan yang nggak-nggak soal lelehan itu hingga ketakutan sendiri.

— — — — — — — — — — — -

Sembari melihat Namdo Bridge di halaman Child Center, aku menyeruput teh hijau tanpa gula yang rasanya entah mengapa nikmat sekali. Teh ini hangat, sesuai dengan suhu malam yang bisa saja menyentuh 10 derajat di musim gugur. Beruntung, di malam itu nggak ada angin sama sekali sehingga jaket dan celana panjangku bisa menahan udara dingin.

Yang terpikirkan kemudian adalah keluargaku yang berjarak sekitar 5 ribu kilometer di selatan. Entah apakah mereka sedang menonton film malam-malam, atau adikku sedang mengerjakan tugas sekolahnya. Lalu, kuteguk lagi teh hijau agar tubuhku tetap hangat sembari ngayom-ngayomi diri: Toh, satu bulan lagi aku pulang ke rumah dan bisa tidur di bawah langit-langit kamarku lagi.

— — — — — — — — — — — -

Sekitar 2016, saat itu adalah malam terakhir aku “secara resmi” tinggal di rumah keluarga di Negeri Para Komuter. Aku harus pindah ke area Semarang Timur, di rumah yang kutinggali bersama istri yang sedang hamil, ke sebuah rumah dengan ukuran yang jauh lebih kecil, namun berada di lokasi strategis di kota besar.

Aku sulit tidur meski sudah sekitar satu jam merebahkan diri di atas kasur. Berbagai macam kenangan dari kecil terlintas di pikiranku sembari memandangi langit-langit yang terbuat dari tripleks itu. Dari kekonyolan demi kekonyolan yang sering kulakukan saat SD, tempelan-tempelan tugas menggambar saat STM yang dulu memenuhi dinding dan kini sudah hilang, hingga seringnya dulu belajar atau mengerjakan tugas di kamar itu sampai larut malam.

Lampu kamarku telah kumatikan. Semua gelap, namun masih ada cahaya yang menelisik dari sela-sela ventilasi di atas pintu dari ruang tengah yang memang selalu menyala sepanjang malam. Sebelum memejamkan mata, aku bergumam “Jadi ini malam terakhirku menjadi anak, dan harus meninggalkan rumah ini.”

--

--