Secuil Potongan Surga Bernama Rabu Ceria

Subagio
6 min readMar 1, 2021
Gudeg Permata di Jogja. (Behance/Robert Sipahutar)

Enam batang tebu dengan ukuran sekitar 50 cm masih ada di depanku. Satu batang sudah dikupas dan dipotong kecil-kecil. Orang tuaku sengaja melakukannya agar tebu ini nggak terlalu besar untuk dikunyah mulut anak kelas 3 SD kurus yang masih memakai celana merah sekolah dan singlet.

Aku mengunyahnya dengan penuh semangat. Air tebu yang manis membasahi kerongkongan, dan membuat mulut serta jari-jari tanganku lengket. Ampasnya kemudian kuludahkan ke tempat sampah. Sore yang cerah itu pun terasa sangat menyenangkan bagi anak yang tangan kanannya membengkak besar gara-gara disengat tawon beberapa saat sebelumnya.

Meski lebih suka dengan rasa biji ketapang yang sering kucari di kebun-kebun dekat sungai, nggak ada anak yang akan menolak manisnya air tebu. Tanaman ini memang sangat mudah ditemui di sana. Di sebelah timur Asrama Militer Bojong, tebu bisa tumbuh berdempet dempetan dengan sangat tinggi. Hampir setiap pagi, truk-truk besar dengan model yang sangat kuno layaknya mobil dari Havana, Kuba dengan cat warna merah membawa batang-batang tebu ini entah ke mana.

Nggak banyak yang aku ingat tentang rasa makanan di Purbalingga. Hanya, ibuku sering membelikanku nasi rames yang isinya kering tempe basah dan mendoan hangat dengan warna kuning pucat. Kami seringkali memakannya di halaman belakang rumah yang dihiasi tanaman nanas. Nasi rames yang dijual Bu Tuginah itu porsinya cukup besar bagi anak-anak. Jadi, meskipun rasanya enak, seringkali aku tak menghabiskannya.

Berbeda dengan rasa masakan Purbalingga yang cenderung didominasi osengan yang gurih, makanan di Negeri Para Komuter didominasi santan. Jujur, aku nggak begitu suka dan sering merasa bosan. Hanya, aku nggak kuasa menahan nikmatnya pecel khas Gambringan yang dijual di sisi selatan perempatan Brambang atau rasa tahu petis yang nggak ada duanya lagi di manapun.

— — — — — — — — — — — — — -

Meski kampus Pleburan sering dianggap sebagai surga kuliner Semarang dan aku termasuk yang puas mencoba begitu banyak makanan saat kuliah di sana, petualangan kulinerku benar-benar kurasakan saat berada di Jogja. Alasannya sederhana, di setiap makanan yang kucicipi, pasti ada kenangan yang masih terkecap hingga sekarang.

Sarapanku memang cenderung itu-itu saja. Kalau tidak beli nasi kuning di jalan AM Sangaji yang lokasinya hanya 20 meter sebelah utara Hotel Tentrem atau nasi ayam Rp 4 ribu di Burjo, aku akan masuk ke dalam Pasar Karangwaru untuk membeli gudeg atau pecel yang harganya Rp 3 ribu. Porsinya mini, tapi rasanya manis sekali.

Kalau makan siang, pilihannya lebih bervariasi. Kita bisa datang ke Warung Pring Selawe karena di sana juga bisa menggoda mbak-mbak pelayannya yang manis sepertinya masih single. Kalau tidak, kita juga bisa makan di warung Si Mak yang lokasinya nyempil di sisi terluar selatan SMA 4 Yogyakarta.

Konon, menu makanan di warung ini masih sama sebagaimana saat Duta Sheila on 7 masih sekolah di sana. Campurannya adalah nasi putih yang cenderung lengket dan lembek, mi atau kering tempe/tahu yang diberi bumbu merah, dan telur yang juga dibumbu pedas. Sehabis makan, biasanya perut akan terasa sangat penuh karena ada banyak sekali kalori yang masuk.

Sesi makan malam jadi semakin menyenangkan jika dilakukan dengan teman-teman. Aku merasakan ayam bakar madu paling enak di sana, tongkrong bersama di kafe pancake atau nasi goreng rempah Kotabaru yang melegenda, hingga menikmati siomay di sisi Stadion Mandala Krida yang mantap jaya.

Meski begitu, ada satu tempat yang terasa sangat menyenangkan untuk makan malam, yakni restoran Bungong Jeumpa di sisi timur Borobudur Plaza. Iya, ini adalah bukti kalau Borobudur memang juga ada di Jogja.

Restoran makanan Aceh ini persis ada di pertigaan. Kami seringkali memilih meja di luar ruangan, yang hanya beberapa meter dari jalan raya. Makannya paling hanya 20 menit, tapi sesi ngobrol dengan teman-teman usai lelah bekerja ini bisa mencapai 2 jam. Apalagi jika menemukan kejadian konyol sebagaimana yang dialami Evan.

Dia memesan Choho Milkshake. Hanya, saat menyeruputnya sedikit dengan sedotan, Evan justru merasakan sensasi sedikit aneh. Dia kemudian meminta kami untuk mencicipinya untuk memastikan apakah yang salah lidahnya atau minumannya.

Begitu giliranku mencicipi, entah mengapa aku langsung memanggil mas-mas Bungong. Dengan sedikit keheranan dia melihatku saat memintanya mencicipi minuman tersebut. Alasanku hanya pengin tahu, apakah minumannya memang rasanya begitu atau memang ada yang salah.

“Gimana, mas?” tanyaku.

Tanpa ba..bi..bu, dia minta maaf. Ternyata, blender yang dipakai membuat milkshake itu sepertinya baru dipakai untuk memblender sambal sebelumnya.

Rabu Ceria

Sebenarnya, istilah “secuil potongan surga bernama Rabu Ceria” dilontarkan oleh Fanny, adik angkatanku kuliah sekaligus rekan kerjaku selama sekitar setengah tahun di Jogja. Meski nggak lama di sana dan justru mengalami sejumlah hal kurang menyenangkan selama bekerja, Fanny menganggap Rabu Ceria sebagai salah satu kenangan menyenangkan di Kota Pelajar tersebut.

Kantorku bekerja bukanlah kantor bonafid. Isinya adalah orang-orang santai yang bekerja dengan kaus oblong dan sandal jepit. Di sana, banyak orang datang interview yang kagok karena mereka seperti memakai baju dinas pegawai bank, namun yang mewawancarai justru terlihat belum mandi sambil mengaduk milo yang biasanya stoknya habis hanya beberapa hari usai dibeli.

Alih-alih memberikan uang makan siang, ada kebijakan unik di kantor ini, yakni memberikan sesi makan bersama yang sedikit mewah di setiap Rabu ke luar kantor. Sejak pagi, kami biasanya sudah melakukan voting ke mana mau makan. Nah, di sesi voting inilah, biasanya ide-ide tentang tempat makan menarik mana yang bisa dikunjungi muncul. Intinya, setiap hari Rabu, kita wisata kuliner!

Tak hanya tempat makan konvensional seperti Warung Steak yang kita kunjungi. Terkadang, kita datang ke tempat seperti pemancingan dengan air sungai yang suaranya menenangkan di belakangnya. Hal ini membuat kita keceh air layaknya anak kecil sembari menunggu makanan selesai dimasak. Gara-gara sesi makan setiap Rabu ini pula, teman-teman sekantor seperti jadi semakin akrab layaknya keluarga. Hingga sekarang, keakraban ini bahkan masih bisa kurasakan meski sebenarnya kami sudah sangat jarang bertemu.

Setiap rasa makanan di Jogja diselingi dengan tawa, curhat, keluh kesah, hingga penyemangat. Aku, Made, dan Ratri terkadang rela mengantre Gudeg Permata yang baru buka pukul 21.00 malam untuk makan lesehan di trotoar. Kami saling menitip jika ada yang membeli Bakpao Chik Yen di timur Tugu Jogja atau Roti Maryam di dalam Stasiun Lempuyangan. Terkadang, kita bahkan berburu lotek hingga ke jalan Moses Gatotkaca hanya karena nama penjualnya sama dengan nama belakangku.

— — — — — — — — — — -

Beberapa minggu sebelum aku terpaksa keluar dari pekerjaan dan pulang ke Negeri Para Komuter, aku bertukar kendaraan dengan Teteh. Dia memakai sepeda motorku, sementara aku memakai sepeda onthel di kos-kosannya. Entah mengapa atau kesambet apa, pukul 01.00 aku terbangun dan bersepeda dari kos-kosanku di dekat SMA Muhammadiyah 1 ke Alun-Alun Utara Kraton.

Ada penjual donat kocok gula halus di sana, dan aku dengan iseng membelinya. Usai memakannya di pinggir jalan dekat 0 km, aku pulang dan lumayan mengeluh karena jalannya ternyata semakin ke utara semakin menanjak. Setelah itu, aku sengaja terjaga hingga waktu sahur.

Bapak kos menyediakan warung dadakan agar anak-anak kos yang malas keluar mencari makan di dini hari. Blio beragama Nasrani, tapi dia pasti nggak akan lupa membangunkan anak-anak kos yang dianggap nggak bangun-bangun, termasuk aku, agar bisa segera sahur sebelum waktu imsak tiba.

Hanya, terkadang aku bosan makan di sana, dan memilih untuk mengayuh sepeda ke Warung Pojok Jalan Gotong Royong. Di sana, berjubel mahasiswi dan mahasiswa, serta beberapa teman sekantor yang juga membeli sahur. Lucunya, terkadang aku sudah membungkus, tapi karena bertemu dengan Niki, Nailin, dan Anang, akhirnya aku justru memesan minuman untuk makan di sana. Jadi, makan nasi bungkus, tapi dimakan di warungnya gitu. Absurd? Bodo amat.

— — — — — — — — — — — — — — -

Usai mengantar pulang Haedong yang menemaniku 3 harian jalan-jalan muteri Ibu Kota di Seoul Central City Bus Station, aku pulang sendirian ke Bucheon. Sesampainya di Songnae Station sekitar pukul 22.00, aku yang kelaparan memilih untuk membeli wafel seharga 1000 Won. Wafel dengan ukuran sebesar telapak tangan itu nggak begitu manis, tapi hangat dan lumayan mengenyangkan di suhu -2 derajat Celcius.

Esoknya aku harus pulang ke Indonesia. Sembari makan, aku berpikir banyak tentang apa yang harus kulakukan setelah pulang, termasuk apakah aku masih bisa memakai sepeda motor dengan lancar atau tidak dan makanan apa yang nantinya harus aku cicipi lagi pertama kali.

Aku bukanlah orang yang ragu untuk datang ke kafe atau restoran dan makan seorang diri. Makan makanan Korea di Foodcourt Citraland, makan Udon di Warkoshi depan kampus Sastra Pleburan, atau ke bakaran Pleburan Bang Dul sudah berkali-kali kulakukan sendirian. Toh, nikmatnya juga sama, kok.

Memang, makan adalah sesi yang membuat lidah bisa menikmati suatu rasa. Namun, ternyata aku jauh lebih merindukan senda gurau, obrolan, dan tawa saat makan bersama dengan teman-teman, baik itu di Nasi Kucing Balik Maning Pleburan, atau di pinggir jalan sebagaimana saat di Bungong Jeumpa yang kini sudah pindah lokasinya.

--

--