Satu Langkah Kaki ke Langkah Lainnya

Subagio
6 min readJan 7, 2021
Gyeongju dan kuburan besarnya. (Whc Unesco/ © CRA-terre)

Siang Itu, Sabtu 3 Oktober 2009, aku hanya duduk-duduk di sebuah kursi yang menghadap ke kuburan berukuran besar. Kuburan ini sebenarnya mirip seperti bukit dan jumlahnya cukup banyak. Kalau di film Gyeongju (2013), katanya di hampir semua sudut kotanya, pasti kamu akan bisa melihat permakaman berukuran besar tersebut.

Aku saat itu ditemani Nara. Dia lahir dan keluarganya tinggal Gyeongju. Saat itu, dia masih belajar sebagai ahli medis di Angkatan Bersenjata Korea Selatan. Gadis yang usianya sepantaran denganku ini kukenal beberapa bulan sebelumnya saat Workcamp di Tempuran, Banyuringin, Kendal. Saat tinggal di desa terpencil itu, dia bahkan sempat bercanda dengan rekannya, Seyoon, kalau ingin membakar paspornya saja dan tinggal di Tempuran selamanya.

Saat kami melihat banyak anak-anak kecil berlarian di sekitar kuburan, tiba-tiba saja Nara mengeluarkan ide absurd.

“Eh, prosotan dari atas kuburan yuk?”

“He, emang nggak papa?”

“Ya kalau ada yang marah kita tinggal minta maaf”

Entah bagaimana aku menurutinya dan kami pun kemudian berubah menjadi anak kecil yang prosotan sampai berguling dari atas kuburan yang hijau penuh rerumputan tersebut. Nggak benar-benar asyik dan sebenarnya cukup berbahaya. Untungnya nggak ada aparat yang memergoki kami melakukan hal yang sebenarnya kurang sopan tersebut.

Usai mendarat di rerumputan yang sudah datar, Nara kemudian bilang kalau saat kecil, dia sering melakukannya dengan orang tuanya dan barusan terpikir untuk melakukannya lagi.

Seharian penuh dia menemaniku. Di hari sebelumnya, kita hanya sebentar berjalan-jalan di pusat kota Gyeongju dan melihat sejumlah objek wisata yang bisa dilihat dari kejauhan seperti Chomseongdae atau Anapji. Kami melakukannya karena Nara menyebut asalkan sudah bisa melihat, nggak perlu membayar tiket 2.000 Won hanya demi melewati pagar yang tingginya bahkan tidak sampai satu meter.

Pagarnya cuma segitu, kalau mau masak bayar lho. (Koreatrack)

Hampir seharian kami berjalan kaki berputar-putar kota. Nara sebenarnya sempat mengeluh mengapa kami harus berjalan kaki sejauh itu seharian dengan Bahasa Korea. Hanya, saat itu aku entah bagaimana ceritanya bisa mengerti apa yang dia maksudkan.

Dia sedikit terkejut saat tahu aku tahu dia mengeluh, sehingga kemudian kami beristirahat di sebuah taman yang penuh dengan bunga berwarna-warni yang tingginya sekitar dua meter sambil menikmati air botolan dan hwangnam-ppang yang barusan kami beli.

Saat aku pulang dari Korea, banyak teman-teman kuliahku yang heran dengan badanku yang terlihat jauh lebih kurus dengan kulit yang jauh lebih cerah. Selain karena mengikuti pola makan mereka yang sehat, kebiasaanku berjalan kaki saat backpacking di berbagai tempat di sana sepertinya juga ikut mempengaruhinya. Meski alasan utamanya demi menghemat biaya, terkadang ada untungnya berjalan kaki hingga 10–15 km per hari karena bisa membuatmu benar-benar menikmati setiap sudut kota atau daerah yang dikunjungi.

Berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia yang sejak kecil terbiasa memakai sepeda motor meski hanya untuk pergi ke warung, aku lebih sering melakukannya dengan berjalan kaki. Hal ini mungkin karena kebiasaanku melakukannya sejak SD di Purbalingga dulu. Meski jarak SD ke rumah lumayan jauh, aku biasa berjalan kaki untuk mencapainya dengan teman-teman.

Perjalanan pulang sekolah biasanya penuh dengan cerita-cerita menarik. Pernah kami sengaja pulang lewat pematang sawah demi memotong jalur. Masalahnya, kami nggak sadar kalau hujan deras semalam membuat pematang tersebut sangat becek dan lembek. Alhasil, sampai rumah seragam sekolah dan sepatu kami kotor semua. Aku pun kena marah dan terpaksa membersihkannya sendiri.

Aku dan teman-temanku juga pernah tiba-tiba harus berlarian dikejar kerbau layaknya orang-orang yang sedang ikut Festival San Fermin di Pamplona, Spanyol. Kerbau itu lepas dari kandangnya dan dikejar pemiliknya.

Masalahnya, kami berenam ada di depan kerbau yang berlari kencang tersebut. Di sisi kiri-kanan kami adalah kebun yang ditutupi pagar tanaman. Beruntung, saat ada tanah terbuka yang tidak ditutupi tanaman, kami langsung melompat ke sisi jalan dan bisamenyelamatkan diri.

Selain di Gyeongju, sebenarnya aku juga banyak berjalan kaki di Gwangju dan Mokpo. di Gwangju, selain khatam memutari downtown-nya yang selalu penuh sesak dengan anak muda, aku juga berputar-putar di Daein Market, pasar tradisional yang dipenuhi banyak anak muda yang memiliki galeri seni di dalamnya. Para seniman muda ini memang sengaja ditempatkan di sana demi membuat banyak orang mau kembali belanja di pasar tradisional.

Aku, Sarah, dan Junseok bahkan sempat membuat rekor membeli donat dengan harga nggak sampai 1.000 won dan kemudian tidur siang di Dunkin Donut selama sekitar 2 jam sambil menunggu hujan reda. Untung nggak sampai diusir.

Jalanan di Gwangju

Saat di Mokpo, aku biasanya meminta izin untuk jalan-jalan sendiri saat keluargaku belanja bulanan di Lotte Mart. Dengan berbekal air minuman sebotol, aku berjalan-jalan di kota yang sangat rapi dengan jalanan yang sangat lebar ini. Jalanan Mokpo cenderung sangat sepi, sangat kontras dengan bangunan-bangunan pencakar langit yang terlihat modern meski di antara bangunan terlihat berantakan penuh dengan benda-benda yang nggak dipakai atau sudah dibuang.

Jika nggak berjalan ke sisi laut, kadang aku iseng naik ke sebuah bukit dengan ketinggian sekitar 110 meter di sisi barat baya Lotte Mart. Nggak butuh waktu lama untuk sampai ke puncaknya karena jalurnya cenderung mudah. Dari atas bukit inilah, aku bisa menikmati hampir semua sudut Mokpo dan sejumlah pulau di sekitarnya.

Lucunya, aku sendiri masih sering iseng berjalan kaki saat tinggal di lereng Gunung Ungaran sekarang. Usai ke kamar mandi di pagi hari, biasanya aku mengecek apakah langit ditutupi awan atau tidak. Jika langit cenderung bersih, aku nggak akan ragu lagi memacu sepeda motorku melewati hutan kecil dan kemudian berjalan di tegalan di atas perkampungan.

Usai berjalan melewati tegalan sayur, mawar, dan alpukat, aku biasanya menemukan spot yang memungkinkanku melihat puncak Ungaran di belakang, Merbabu, Telomoyo, Andong, dan Merapi di baliknya di sisi tenggara, serta Sumbing dan Sindoro di barat daya.

Jika beruntung, terkadang aku bisa melihat puncak-puncak gunung tersebut ditutupi dengan lenticular yang membuatnya lebih indah. Sayangnya, aku hanya bisa sendirian menikmatinya di sana sembari kedinginan menahan suhu udara yang rendah dan angin yang cukup kencang.

Temanku kuliah ada yang berjalan kaki dari Pleburan ke Pamularsih saat sedang suntuk dengan kehidupannya. Ada juga yang berjalan kaki dari Papandayan ke Genuk Krajan sambil berderai air mata pukul 01.00 dini hari karena patah hati. Well, aku mungkin sedikit beruntung karena kebiasaanku berjalan kaki lebih sering terkait dengan hal-hal yang menyenangkan.

Hanya, sebagaimana yang selalu temanku Ratri ceritakan, terkadang akan sangat menyenangkan jika sesekali dirimu berjalan kaki di kota sendirian, baik itu kotamu tinggal atau kota tempatmu sedang jalan-jalan, bersama dengan kerumunan orang-orang yang sama sekali nggak kamu kenal, atau sekadar duduk diam dan memandangi orang berlalu lalang di depanmu.

Terakhir kali aku benar-benar berjalan sendirian jauh dari rumah adalah saat di Ubud pada Oktober 2018 lalu. Istriku memilih untuk tidur setelah subuhan karena anakku tidur terlalu larut malam harinya. Aku kemudian iseng berjalan kaki ke sejumlah tempat mengingat penginapanku dekat dengan Ubud Palace dan pasar tradisionalnya.

Di dalam pasar, aku membeli semacam nasi ayam yang harga per porsinya Rp 7 ribu. Di sana, ada sejumlah bule backpackeran yang juga sedang mencari makanan dengan harga murah. Sebelum pulang ke penginapan sambil membawa makanan buat anak istri, aku sempat duduk di dekat dengan trotoar.

Sinar matahari yang masih sangat rendah dari timur membuat Ubud seperti terlihat lebih oranye dari biasanya. Sudah banyak warga lokal yang mengendarai sepeda motor sambil mengenakan pakaian adat khas Bali. Sejumlah anjing berlalu lalang tanpa takut. Dan aku, hanya duduk diam sambil menikmatinya, mungkin lima atau sepuluh menit lagi, yang mungkin akan terkenang selamanya.

--

--