Rumah

Subagio
6 min readJun 23, 2022
(FREEPIK/KAMRANAYDINOV)

- Lagu “Take Me Home” dari The Paper Kites & Nadia Reid beralun –

Aku dan Ami menuruni tangga Stasiun Gambir. Di stasiun yang kental dengan nuansa warna hijau yang kini jadi stereotipe warna cat rumah kaum middle-class suburban ini, kami berdua sedikit keheranan dengan uang lembar kertas Rp 2 ribu yang baru kali pertama kita pegang. Pecahannya yang nggak biasa membuat kami seperti melihat lembaran uang dari negara lain. Lagipula, bentuknya juga masih khas uang baru; rapi dan tidak kucel, membuat kita seperti sayang untuk menggunakannya.

Sehari sebelumnya, semua sangat berbeda. Aku, Ami, dan Intan harus memakai baju dan jaket berlapis-lapis demi menahan suhu udara yang menembus titik beku saat melakukan perjalanan dari Seoul, Bucheon, lalu ke Incheon. Udara juga sangat kering sehingga membuat bibir pecah nggak karuan. Kalau bukan karena sempat melihat salju sebentar sebelum pulang, aku mungkin akan terus mengutuk betapa nggak nyamannya musim dingin bagi tubuh manusia yang biasa diterpa angin kipas elektronik setiap malam di Semarang.

Memang, sejak tiga minggu sebelum pulang, suhu udara cenderung anjlok. Aku masih ingat betul betapa anehnya perubahan suhu saat naik bus dari Busan menuju Haenam. Saat di Terminal Seobu Intercity Busan, aku masih bisa memakai jaket satu lapis dan bahkan lumayan merasakan sumuk meski sudah sore hari. Tapi, begitu keluar dari bus di Munnae-Myeon pukul 10.30 malam, suhunya sudah menembus di bawah 10 derajat. Esoknya, suhu bahkan sampai anjlok jadi -6 derajat Celcius. Ditambah dengan adanya taifun dan hujan es, mau nggak mau pemanas ruangan pun harus mulai dinyalakan agar bisa bertahan hidup.

Begitu sampai di Stasiun Tawang, orang tuaku datang menjemput. Mereka senang anak yang hobinya cuma tiduran di rumah ini tiba-tiba kabur 8000 km ke utara selama tiga bulan sudah balik. Entahlah, mungkin mereka senang karena jadi ada lagi orang di rumah yang bisa diperintah beli bawang atau Pilkita di warung.

Tapi, entah mengapa, sesampainya di rumah usai makan mi ayam yang rasanya jadi 1.000 kali lipat lebih enak dari biasanya, aku justru merasakan hal yang sama sebagaimana saat kali pertama pindah ke rumah tersebut 12 tahun sebelumnya.

~ Anak 9 tahun tidak benar-benar mengerti apa maksud dari pindah rumah. Dia kira, dia bisa kembali pulang ke Purbalingga untuk bermain dengan teman-temannya atau bertemu keluarga besarnya jika memang ingin. Sebelum memulai perjalanan pindahan, dia bahkan dengan santai bermain kasti di tanah lapang dekat rumahnya dulu seperti biasanya. Saat menyadari betapa lama perjalanan ke tempat baru, barulah dia mengerti, semua berubah. Semua yang dulu dia kenal harus mulai sedikit demi sedikit dianggap menghilang dan dilupakan. ~

Tempat tinggalku yang baru memang memberikan kenangan lebih banyak saat bertumbuh. Di sana, kali pertama aku bisa mendengar suara kereta di malam hari. Aku juga bisa menikmati cahaya oranye matahari khas pukul 16.00 sampai 17.00 di lapangan sepak bola dengan bayangan kebun bambunya yang memanjang, bersepeda 5 km ke SMP setiap pagi melewati terowongan dedaunan yang menyenangkan, ladang tembakau yang dipenuhi anak-anak dan orang dewasa bermain layangan, atau sekadar asyiknya menghabiskan waktu bermain Nintendo dengan adik, semua dirasakan di sana.

Tapi, hanya bangunan rumah itulah yang benar-benar kurasakan sensasi nyaman sebagaimana manusia menikmati “rumah”. Tidak dengan lingkungannya, yang sampai sekarang bahkan masih tidak aku mengerti meski hanya mampir sebentar. Karena alasan itulah dulu terkadang aku bisa bertahan berhari-hari tak keluar rumah sekalipun.

Jogja memberikanku sensasi sebaliknya. Tinggal hampir dua tahun di sana membuatku begitu nyaman dengan lingkungannya. Sebenarnya sih, faktor banyaknya teman-teman menyenangkan yang bisa dipercaya menjadi salah satunya. Kebiasaanku berputar-putar kota sendirian saat sore atau tongkrong bareng teman-teman sehabis pulang kerja juga membuatku seperti menemukan kenyamanan dan ketenangan sebagaimana di “rumah”. Sayangnya, tak ada bangunan rumah yang menyambutku di sana. Sampai sekarang, usai 10 tahun berpisah dari kota tersebut, meski sudah berusaha berkali-kali, usahaku kembali ke sana masih membentur tembok.

— — — — — — — — — — — — — —

Hanya aku satu-satunya laki-laki yang ada sebuah kamar di Glory Condo dengan harga sewa 100 ribu Won per malam. Bangunan berwarna cokelat ini sangat khas karena warna dan bentuk bangunannya yang cukup mencolok di pinggir Pantai Haeundae. Semalaman, aku, Eeva, Jia, Charleen, Samantha, dan Jaeyoung menghabiskan waktu mengobrol apa saja sebelum kita akhirnya tepar seperti ikan pindang keranjangan yang berjejer dijual di Pasar Ganefo Mranggen.

Begitu subuh, aku terbangun. Sadar kalau teman-temanku ini baru pada membuka mata pada pukul 08–00, aku pun langsung melihat ke luar jendela, melihat cahaya matahari masih terlihat redup di pantai. Setelah itu, aku pun memilih untuk keluar untuk duduk-duduk sendirian di pasir pantai, dengan sarung sebagai selimut penahan angin.

Sejak kali pertama kaki melangkah masuk kota ini, aku selalu menganggap Busan sebagai tempat ideal untuk hidup. Alasannya sederhana saja, kotanya lengkap walau nggak segemerlap Seoul dan sekitarnya. Jaringan metronya aduhai dan bisa menjangkau semuanya, nggak seperti Gwangju yang hadeh itu jalur sak-uncrit ya mau kemana juga sih padahal kotanya asik. Selain itu, ada pantai di tengah kota.

Yap, kalau kamu jengah, stres, mumet, kesuh karo gawean, patah hati, atau apapun, pantai bisa menjadi obat, dan itu ada di tengah kota. Mirip seperti Jogja, walau pantainya jauh. Tapi setidaknya dengan muter-muter motoran di sana atau setidaknya mampir beli jajanan apapun di pinggir jalan sudah bisa bikin rasa kesuh menghilang. Dan itu tersedia dengan baik di Busan, yang sayangnya seperti sangat mustahil untuk ditinggali oleh perantau gratisan seperti aku di kala itu.

Lebih dari dua jam aku hanya duduk-duduk di pasir pantai Haeundae yang warnanya nggak jauh beda dari Pantai Pok Tunggal, cokelat-cokelat muda gitu, bukannya putih. Suasananya sepi, hanya ada beberapa orang tua yang membawa anjingnya atau sekadar jalan-jalan di sekitar. Rasanya seperti aku memiliki rumah di sana, meski hanya untuk beberapa jam, karena diberi kesempatan untuk sendirian, menikmati momen matahari terbit dengan sangat tenang, dengan detik yang terasa melambat.

Senin 23 November 2009

Apartemen Eom Ji di Bucheon ada di lantai belasan. Dari balkonnya, terlihat beberapa pot bunga dan sepeda kecil yang mungkin dulu dijadikan Eom Ji belajar saat masih kecil. Pukul 02.00 dini hari, hanya beberapa jam sebelum aku harus berangkat naik bus dengan Intan dan Eeva ke Incheon, aku justru terbangun dan terpaku melihat pemandangan di luar jendela.

Entah apa yang terjadi, jalanan masih padat di perempatan. Pemandangannya memang tidak sespektakuler saat aku naik ke atap apartemen tempat Jia dan Jaeyoung tinggal di Busan yang dipenuhi pemandangan berbukit-bukit cakep kalau matahari terbit. Tapi aku merasa sedikit kosong karena harus kembali pulang ke Indonesia usai tiga bulan yang sangat nggak biasa bagi orang yang biasanya enggan ke luar kamar rumah.

Tujuh belas kota kecil dan kota besar disinggahi. Entah berapa ribu kilometer bus dengan harga tiket termurah dan AC yang terkadang mati sudah kutumpangi. Entah berapa puluh toilet pesing dengan sensor menyebalkan yang bikin cawik jadi pusing yang kupakai. Entah berapa kg samgakkimbap yang aku beli. Entah berapa puluh ribu langkah iseng hanya demi bisa berputar-putar kota dengan gratis. Entah berapa ratus ibu-ibu tua dengan celana motif bunga-bunga dan rambut keriting pendek yang aku sapa, dan entah berapa puluh helai roti tawar cokelat 800 won sebungkus yang bisa aku jadikan makanan pokok selama beberapa hari menggelandang.

Dan hingga sekarang, selain Jogja, aku belum lagi menemukan suasana ‘rumah’ di luar bangunan tempat aku merasa aman untuk makan, minum, tidur, buang hajat, atau sekadar leyeh-leyeh kini.

It’s the sound of the rain falling down

It’s the slowing of the world going round

It’s a light in the window that I’ve found

Take me home

--

--