“Route One”

Subagio
5 min readMay 21, 2021
Mihwangsa di Haenam

Notifikasi SMS muncul di ponsel Samsung butut berwarna merah muda di saku jaketku. Saat itu aku sedang ada di mobil sedan putih yang dikendarai Pak Kim. Aku nggak hapal nama lengkapnya. Satu hal yang pasti, dia adalah sopir dari Usuyeong Child Care Center tempat aku tinggal di sana. Istrinya adalah koki yang menyediakan makan siang dan makan malam, dan kedua anaknya, Kim Minu dan Kim Ji-in belajar di Child Center itu.

Ponsel Samsung butut itu “dipinjamkan” orang tuaku di sana agar bisa dihubungi sewaktu-waktu aku dan Sarah main ke mana. Soal pulsa, karena ponsel itu pasca-bayar, urusan pulsanya ya orang tuaku di sana yang mengurus. Aku ya tentunya nggak berani asal nelepon atau kirim SMS kalau nggak perlu-perlu amat.

Notifikasi SMS itu datang saat aku berada di jok belakang di sebelah Sarah. Saat itu adalah seminggu sebelum dia pergi dari Korea untuk kemudian muter-muter di India. Sebelum pergi, dia ingin merasakan pengalaman hidup jadi semacam biksu alias temple stay. Untungnya, di Haenam sana ada kuil yang menyediakan layanan ini. Jadilah kita ke Mihwangsa siang itu dan aku mengantarnya semata-mata agar dia nggak kikuk hanya berdua dengan Pak Kim yang sama sekali nggak bisa bahasa enggres.

SMS itu datang dari gadis yang sampai sekarang aku jujur nggak menyangka bakal jadi istriku sekarang. Dia hanya menanyakan singkat kabarku di sana. Aku enggan membalasnya karena 1, nggak enak kalau bales SMS ke luar negeri pasti mahal padahal dibayarin orang tuaku di sana, 2, hubunganku dengannya sedang nggak baik.

Kita berdua tidak sepaham akan banyak hal sejak awal tahun sehingga aku memutuskan untuk nggak lagi berbicara dengannya berbulan-bulan lamanya. Salah satu tipikalku yang sangat buruk memang seperti ini, terkadang demi mencari kedamaian dan memilih untuk kembali menjalani hidup, aku memutuskan untuk “menutup buku” jika memang alur ceritanya sudah terlanjur terlalu brutal dan tidak bisa ditolerir lagi.

Entah bagaimana ceritanya dia mendapatkan nomor teleponku di Korea mengingat hanya sedikit temanku yang mengetahuinya. Aku nggak tahu bagaimana kikuknya dia meminta nomorku ke teman-teman terdekatku hanya demi mendapatkannya. Hanya, setelah pulang, aku tetap memilih untuk nggak lagi berbicara dengannya, hingga kemudian aku lulus kuliah, merantau ke Jogja, dan kemudian kembali lagi ke Semarang.

Empat tahun kemudian, kita berbaikan. Dari banyak cerita aku “menutup buku” dengan orang-orang yang kuanggap memang “sudah cukup”, hanya dia yang kembali kubuka bukunya. Kita nggak banyak membahas tentang ketidaksepahaman kita dulu semasa masih muda dan hanya memilih untuk menikmati apa yang ada sekarang.

Aku mengingatnya sebagai gadis mandiri yang nggak ragu kemana-mana sendirian naik bus atau angkot mengingat dia nggak bisa naik sepeda motor. Dulu saat sebelum menikah, ada masa di mana hampir setiap akhir pekan dia turun dari puncak gunung naik bus reyot yang sekarang sudah habis armadanya hanya demi menemuiku di Kota Semarang. Kita hanya makan siang atau muter-muter sekitar dua jam. Padahal, waktunya bolak-balik dari dan ke puncak gunung bisa jadi lebih lama dari itu.

Pernah kita hanya berteduh di emperan sebuah toko karena hujan turun dengan sangat deras sehingga jas hujan nggak akan membuat kita tetap kering jika menerjangnya. Dua jam hanya dihabiskan di emperan toko, setelah naik bus di jalur naik turun ekstrem yang penuh dengan orang merokok dan bisa membuat siapa saja mabuk kendaraan. Tapi dia tetap mengulanginya di akhir-akhir pekan berikutnya, lagi, dan lagi.

Omong-omong soal perempuan mandiri, Zulfa nggak hanya satu-satunya yang aku kenal. Tiga nenekku, satu adalah nenek langsungku dan dua lainnya adalah adiknya, ketiganya memang susah dipisahkan hingga sekarang, adalah petualang sejati dalam versi yang sebenarnya.

Nenek-nenek tua itu menolak anggapan orang tua harus duduk di rumah, merawat cucu, tanaman, atau hewan peliharaan, dan memilih untuk sering bepergian. Meski alasannya hanya menjenguk saudara-saudara kandungnya yang terpisah jauh hingga ke ujung Jawa Barat atau Sumatera Utara sana, mereka tahu bahwa perjalanan ke sana adalah petualangan yang nggak bisa digantikan dengan apapun.

Sebelum nenekku terkena asam urat dan nggak lagi bisa ikut petualangan bersama adik-adiknya, setiap tahun mereka punya agenda rutin. Entah ke Cilegon, entah ke Sukabumi, entah ke Palembang, entah ke Deli Serdang, mereka pasti ada alasan untuk berkunjung ke salah satu, salah dua, atau seluruhnya. Nggak dengan pesawat meski harga tiket nggak terlalu berat buat mereka. Mereka memilih untuk memakai bus.

Bagi mereka, naik bus ALS ke Deli Serdang adalah kenikmatan luar biasa. Mandi di toilet umum, mencicipi makanan di setiap daerah yang dilalui, melihat pemandangan kota-kota dan desa nun jauh di sana dan duduk menatap diam dari jendela bus adalah cara perempuan-perempuan ini merdeka.

— — — — — — — — — — — — — —

Hingga saat ini, masa-masa kuliah hingga kemudian tinggal beberapa saat di Jogja sebagai masa di mana aku mensyukuri pernah bisa menikmati kesendirian. Beneran, lo, jangan terlalu membuat jomblo menjadi sesuatu yang sangat hiperbola layaknya orang yang super menyedihkan.

Saat dirimu sudah berkeluarga dan memiliki prioritas yang berbeda, pasti akan mengeluarkan senyum kecil saat mengenang masa-masa saat dirimu pernah sendiri kemana-mana dengan impulsif, nekat, atau melakukan berbagai kedunguan seru yang pasti bakal kamu pikir ulang berkali-kali untuk melakukannya sekarang.

Saat pandemi membuatku lebih banyak di rumah saja, terkadang teringat saat dulu pernah dengan iseng subuh-subuh motoran dengan Arda hanya demi menikmati matahari terbit dan mendengarkan deburan ombak Laut Selatan yang menenangkan di Parangkusumo, membuat api unggun entah di pantai mana di Semarang Utara hingga dini hari, atau terjebak pasir hisap dan bukannya ditolong namun justru difoto-foto dulu sama geng “student madness” saat kuliah.

Sekarang mungkin sudah bukan lagi saatnya untuk itu.

— — — — — — — — — — — — — — — —

Aku duduk dengan Ji di sebuah halte yang ada di kawasan Gaegeum, Busan. Aku sudah benar-benar lupa di mana letak halte itu mengingat di kawasan tersebut berisi apartemen-apartemen dengan rupa yang sangat mirip. Yang kuingat hanya untuk mencapai Stasiun Subway Seomyeon, aku harus naik bus sekali dari sana.

Pemandangan di atap apartemen tempat Ji tinggal spektakuler karena lokasinya sebenarnya ada di perbukitan. Tapi, jika matahari terbit, apalagi pas golden hour, akan terlihat luar biasa karena sebagian kota Busan sekaligus lautnya bisa terlihat sangat cantik.

Halte ini sangat nggak biasa karena hanya berupa papan petunjuk elektronik dan bangku panjang. Atapnya adalah bunga tanaman gantung dan di belakangnya juga berupa taman kecil dengan rumput hijau di antara apartemen-apartemen yang menjulang tinggi. Entah mengapa, yang teringat suasananya mirip dengan video klip Ronan Keating yang lagunya When You Say Nothing At All itu, lo.

Dia memberiku tiga buah roti untuk bekal perjalanan pulang ke Haenam yang bisa berlangsung empat sampai lima jam. Saat itu sudah pukul 16.00 sore. Aku harus mengejar bus terakhir di Sasang (Seobu Intercity Bus Terminal) di sisi timur Busan yang berangkat pukul 18.00.

Begitu bus tiba, kami saling melambaikan tangan, dan tak disangka itu adalah saat terakhir kali kami bertemu, sebagaimana sebagian besar teman-teman dari Korea yang juga sudah tak pernah lagi bertemu langsung meskipun masih saling kontak di media sosial. Dia kemudian melanglang buana dari Kanada, Jepang, dan terakhir yang aku tahu di Inggris sebelum menghilang dan nggak tahu lagi rimbanya.

Perjalanan pulang dari Busan ke Haenam memang nggak seseru perjalanan-perjalanan jauh yang pernah aku lakukan baik itu dengan bus, kereta, atau sepeda motor lainnya. Pemandangannya juga nggak sespektakuler saat kamu mau streaming video perjalanan mobil van puluhan jam muteri Islandia milik Sigur Rós yang Route One itu. Tapi aku masih berharap, setidaknya aku bisa memiliki kesempatan menikmati perjalanan-perjalanan seperti itu sekali lagi.

--

--