Putih, Biru, Laut

Subagio
5 min readDec 25, 2020

Sekitar pukul 10.00 WIB, kapal ini segera bertolak dari pelabuhan Jepara. Di bagian bawah kapal, berjejalan mobil pengangkut sembako dan sepeda motor. Meski saat itu adalah akhir tahun dan di musim hujan, sepertinya minat pelancong untuk menikmati Karimunjawa tetap tinggi. Aku adalah salah seorang di antara mereka.

Bersama dengan teman-temanku yang memiliki ide untuk datang ke kepulauan ini, kami berada di sisi timur kapal. Cahaya matahari cukup panas sehingga membuat kami memakai jaket atau apapun yang bisa menutupi kulit dari sengatannya. Bagian dalam kapal dan sisi baratnya sudah penuh sehingga kita mau nggak mau berpanas-panasan di luar kapal. Hanya, kami tahu, usai tengah hari, nantinya kami yang akan beruntung karena nggak lagi kepanasan.

Meski pada dasarnya takut ketinggian, entah mengapa aku memberanikan diri duduk dekat dengan pagar. Kakiku bahkan sengaja kukeluarkan menggantung. Selama perjalanan laut yang hampir enam jam itu, aku hanya bisa memandangi Laut Jawa yang seperti tak berujung.

Hanya, karena berjam-jam memandangi laut, aku baru menyadari kalau warna airnya nggak selalu sama. Di dekat pelabuhan, terlihat lebih keruh atau sedikit kehijauan. Semakin menjauh dari daratan, semakin biru dan gelap warnanya. Meski terkadang, warnanya juga kembali terlihat kehijauan.

Kecepatan kapal ini sangatlah lambat karena seperti membutuhkan waktu sangat lama hanya untuk melewati Pulau Panjang. Membutuhkan waktu bagi kepalaku untuk beradaptasi dengan goyangan lautnya hingga akhirnya aku nggak lagi merasakan pusing.

Enam jam di laut, nggak ngapa-ngapain selain mengobrol dan sesekali mengecek jam di ponsel membuat kami lebih sering tiduran. Rasa kantuk sempat buyar saat kami melihat sekelompok lumba-lumba berlompatan di sisi kapal. Meski nggak lama, itu adalah untuk pertama dan satu-satunya aku pernah melihat lumba-lumba liar di lautan.

Menjelang sore, kami sampai di dermaga Karimunjawa. Di sana, kami sudah dijemput pemilik homestay. Kami bahkan dipinjami sepeda motor untuk berputar-putar ke mana-mana. Hanya, kalau makan kami harus cari sendiri. Untungnya, di dekat alun-alun ada warung. Di warung ini, nasi dan lauk ikan yang biasanya harganya cukup mahal kalau di Semarang, hanya dihargai Rp 7.000 seporsi.

Sepeda motor kami pacu terus ke utara. Jalanannya sudah lumayan bagus meski kebanyakan wilayah yang kami lewati adalah berupa kebun atau tanah-tanah yang sepertinya belum benar-benar dijamah manusia.

Pulau Cilik dan Pulau Gosong harus dicapai dengan perahu kecil. Kami beruntung karena pemilik homestay sudah menyediakannya, lengkap dengan peralatan scuba dan pelampung bagi aku yang nggak bisa berenang. Hanya, melayang di atas permukaan laut juga bisa memberikan pengalaman ngeri tersendiri.

Usai menikmati terumbu karang yang jaraknya nggak sampai 2–3 meter di bawah tubuhku, aku seperti ketakutan. Karang-karang itu seperti semakin menjauh ke dalam. Semakin gelap, layaknya akan jatuh ke dalam jurang yang tak terlihat ujungnya. Aku mengalihkan pandangan ke arah perahu, nggak terlalu jauh sebenarnya. Tapi, mau nggak mau aku memilih untuk kembali. Rasanya aneh karena meski memakai pelampung, ada dasar laut puluhan meter misterius yang tak terlihat di bawah tempatku mengapung.

Sebagai orang yang kini terjebak dengan tempat tinggal di ketinggian 1.020 mdpl dan pemandangan alam hijau spektakuler setiap harinya, aku adalah orang yang lebih suka dengan pantai dan laut. Suara ombak dan desiran angin laut adalah penenang, sekaligus penyemangat bahwa hidup ini terlalu indah untuk diselingi dengan ketakutan-ketakutan akan orang lain dan masa depan.

Pantai di Pulau Cilik yang kalau diputari berjalan kaki nggak sampai 15 menit itu putih bersih. Ombaknya tergolong kecil karena sudah dipecah oleh karang. Kebetulan, hanya perahu kami yang bersandar di dermaganya saat itu. Saat itu, rasanya kami sedang menikmati pulau pribadi untuk bermain-main.

Cuaca memang sangat panas, tapi saat itu kami tidak lagi mempedulikannya. Kami semua berubah menjadi anak kecil yang seperti baru pertama kali melihat pasir pantai dan laut, memainkan apa saja yang bisa kami mainkan tanpa takut kulit menjadi gelap. Penuh dengan tawa, atau sekadar berbaring di atas pasir menikmati hembusan angin laut yang membuat kulit lengket sembari ombak terus bergantian membasahi badan.

— — — —

Saat balita di Ciamis, entah berapa kali orang tuaku mengajakku bermain di Pengandaran. Pantai itulah yang pertama kali terekam di memoriku sebagai tempat yang menyenangkan. Hingga saat ini, aku selalu menganggap pantai sebagai pelarian jika penat, stres, atau sekadar ingin bersantai dan mendengarkan deburan ombak berjam-jam lamanya tanpa perlu mengucapkan sepatah kata pun.

Uniknya, baik itu di Korea atau di Jogja, pantai juga masih menjadi rekaman paling kuat di kepalaku. Jika ditanya tentang tempat terbaik di Korea, aku tanpa ragu menyebut Busan hanya karena pantai-pantainya yang sangat menyenangkan. Aku bahkan selalu menganggap kota itu sebagai tempat ideal untuk menjalani hidup hanya karena satu alasan; kamu bisa ke pantai setiap hari dan bisa mencapainya dengan berjalan kaki usai keluar dari subway.

Aku memang suka berputar-putar sendirian naik motor atau bersepeda menikmati segala sudut Kota Jogja. Tapi aku tahu bisa langsung ke Parangkusumo untuk menikmati deburan ombak dan gumuk pasir jika membutuhkannya, atau ke Gunungkidul jika ingin mencari pantai yang lebih eksotis. Pantai seperti menjadi ujung dari pencarianku akan ketenangan.

— — — — —

Usai ngobrol semalaman bersama teman-temanku yang pesta Soju di Glory Condo yang gedungnya berwarna cokelat dan pasti terlihat di hampir semua foto tentang Haeundae, di mana aku adalah satu-satunya cowok dan yang nggak mabuk, aku pergi sendirian ke pantai setelah subuh. Saat itu, pantai sangat sepi meski aku sempat melihat beberapa orang tua jalan-jalan.

Sebenarnya, aku lebih suka dengan Gwangalli karena pemandangannya nggak hanya lautan lepas, tapi juga ada jembatan. Di Gwangalli, juga ada banyak pasangan yang nggak akan malu bercumbu meski ada banyak orang di sekitarnya. Di Gwangalli juga, kami bisa masuk ke minimarket beli minuman dan camilan sambil bertelanjang kaki dan mengotori lantainya dengan pasir. Di pantai ini juga, kami mengobrol banyak hal tentang kehidupan di negara masing-masing hingga larut malam tanpa takut dipalak preman.

Pasir di Haeundae tidaklah seputih di Pulau Cilik, cenderung kuning sebagaimana di Pok Tunggal. Hanya, pasirnya sangat bersih. Sekitar satu jam aku hanya duduk di sana, berselimutkan sarung dan diam dengan senyum kecil yang seperti nggak bisa hilang.

Suhu musim gugur saat itu tidak lebih rendah dari 15 derajat. Hanya, saat aku menikmati deburan ombak dan cahaya langit yang mulai terang, sedikit dikejutkan dengan adanya orang yang dengan gila berenang bolak-balik dari ujung teluk ke ujung teluk lainnya.

Ah iya, gara-gara terlalu menikmati film Our Little Sister, aku kini juga berharap bisa melihat Kamakura setidaknya sekali sebelum aku meninggal. Alasannya mirip dengan saat aku menyebut Busan atau Jogja; pantainya.

--

--