Sedikit tidak menyangka, hari ini aku bisa ketemu dengan teman lama kerjaku di Jogja, si Danik alias Teteh. Nggak, nggak ada sedikitpun dia punya darah Sunda. Kebiasaannya dipanggil Teteh hanya gara-gara dulu dia kuliah di Bandung. Aslinya sih dari Negeri Kerupuk Upil di Jawa Timur sono.
Sejak sama-sama keluar dari Yogyakarta, apalagi sama-sama sudah punya garwo, kita sudah beberapa kali bertemu. Dua kali di Semarang, sekali di Ambarawa. Tapi hari ini, sama sekali kita nggak merencanakannya. Aku yang memang sedang iseng main ke Semarang karena jenuh di rumah aja ternyata bisa ketemu gara-gara kita kebetulan lagi di kota yang sama.
Hubungan pertemananku dengan Danik lumayan unik. Kita bisa dikatakan sering kumpul bersama dengan sejumlah teman lainnya seperti Nailin, Niki, Ratri, Made, Evan, Mztom dan lain-lain. Kita pernah mentertawakan video lagu U2 yang Stuck in the Moment saat berkaraoke, sahur bersama yang absurd, dan lain-lain. Hanya, terkadang aku dan Danik bisa mengobrol empat mata untuk berbagai percakapan yang dalam seperti saudara yang nggak pernah kehabisan bahan.
Nggak, aku nggak perlu lagi menceritakan tentang kisah legendaris Danik yang rela jauh-jauh ke Stasiun Lempuyangan dan sukses bikin sekantor ketawa itu. Aku akan menceritakan sedikit kenangan saat kita naik motor berboncengan ke Progo, toko super gede yang entah cocok disebut mall atau nggak.
Saat itu, aku yang masih membantu pekerjaan admin kantor sembari nimbrung di Tim Data Migrasi diminta untuk membeli sesuatu di Progo. Entah alasan apa aku mengajak Danik saat itu. Kita kemudian mengobrol panjang soal kehidupan, pekerjaan, dan lain-lain. Hanya, saat di tengah perjalanan, hujan turun dengan sangat deras. Jalanan bahkan sampai banjir karena selokan nggak lagi mampu menampung air.
Meski terlihat ngenes banget karena naik motor hujan-hujanan dan kaki kerendam air banjir. Entah mengapa saat itu bisa merefleksikan beberapa hal yang bisa sangat kunikmati saat berada di Jogja. Ok lah, Jogja bisa macet, penuh tempat wisata, dan banyak tempat nongkrong. Tapi, kapan lagi sih bisa merasakan kena banjir dan menikmati hujan-hujanan syahdu di Jogja?
Aku beberapa kali ke Progo untuk urusan kantor. Selain bersama dengan Teteh yang jujur udah lupa kita dulu disuruh beli apa, pernah juga aku ke Progo bareng Mas Aris dan temen-temen lainnya ke sana dengan mobil. Alasan ke sana buat beli apa juga lupa. Yang pasti, saat itu kantor sedang mati listrik dan kita nggak bisa kerja. Daripada hanya gerah kepanasan di kantor, ya akhirnya kita pergi saja ke sana.
Selain ke Progo, aku juga masih ingat diminta membeli alat tulis di Toko Merah. Bagi orang sana, toko ini biasa saja sih. Tapi bagi pendatang seperti aku, agak unik aja memiliki pengalaman membeli barang di sana. Seperti merasa memiliki klaim kalau memang pernah benar-benar hidup di Jogja kalau sudah pernah masuk ke dalamnya.
Entahlah, saat aku tinggal di sana, hasrat untuk lewat di sekitaran Malioboro seperti berkurang drastis. Aku bahkan cenderung memilih untuk menghindarinya karena nggak ingin macet. Memang, terkadang saat aku stress atau suntuk, bisa motoran di lingkup dekat dengan Kraton atau Alun-Alun. Hanya, area selain Malioboro justru terkesan lebih menyenangkan untuk dikenang.
Barusan aku chat dengan Ratri soal sebuah jalan yang sangat aku suka di Jogja. Kebetulan, aku lupa namanya. Yang aku ingat hanyalah pohon-pohon tua yang besar, di seberangnya ada rel kereta dan pagar yang panjang. Nggak sampai lama, Ratri menjawab Jalan Kusbini.
Pertama kali aku lewat di Jalan Kusbini adalah saat pertama kali mencari kerja di Jogja. Satu hari setelah kita naik motor dan harus berputar ke Kalibawang karena jalan setelah Muntilan dilanda banjir lahar dingin dengan bebatuan seukuran rumah pada bergelimpangan, kita mencari lokasi tongkrongan susu yang aku lupa bener apa nama dan lokasinya. Saat itu, Intan menjadi guide kami naik motor. Begitu melewati Jalan Kusbini, aku seperti langsung jatuh cinta.
Bisa dikatakan, jalan ini pasti aku lewati saat sedang suntuk, cupet dengan pekerjaan, atau sedang patah hati. Entah mengapa, magisnya pohon-pohon tua ini selalu sukses mengubah suasana hati yang awalnya nggak enak jadi lebih membaik. Setelah itu, aku pun bisa kembali pulang ke kantor dengan kondisi yang lebih segar dan bisa menyelesaikan pekerjaan.
Sebenarnya, ada beberapa jalan lain yang aku suka melewatinya. Salah satunya adalah Pogung. Hanya, aku nggak berani sih masuk hingga ke bagian dalam kampungnya. Maklum, legenda bahwa Pogung sebenarnya adalah labirin raksasa yang bisa menjebak siapa saja di dalamnya dan nggak bisa keluar cukup menakutkan bagi pendatang seperti aku.
Saat kebanjiran usai berbelanja di Progo, Teteh sempat bertanya tentang apakah aku akan tetap bertahan kerja di Jogja atau nggak. Saat itu aku agak ragu menjawab, namun mengaku sempat terpikir untuk berganti pekerjaan nantinya atau bahkan pergi dari Jogja. Bisa jadi, aku agak menyesali jawaban itu karena benar-benar menjadi kenyataan.
Ya, untuk saat ini, aku nggak lagi bisa seenaknya naik motor berputar-putar di sekitar Kraton, Kridosono, Mandala Krida, atau menikmati rindangnya pohon-pohon besar di Jalan Kusbini. Mungin nanti, entah.