Pecundang Berlabel Terbaik Kedua

Subagio
5 min readJan 23, 2021
(masdeewee.wordpress)

Hampir semua orang di dalam mobil Suzuki Carry yang AC-nya tidak begitu terasa itu memasang muka muram, termasuk aku yang usianya paling muda. Meski ada beberapa anak sepantaran lain di dalamnya, usiaku memang lebih muda satu tahun dari kebanyakan anak-anak SD kelas enam seangkatanku. Hanya, salah satu dari guru kemudian mengungkapkan rasa kecewa sembari berusaha menghiburku secara asal-asalan.

“Sudahlah Rie, kamu udah bagus banget tadi. Kita kalah karena memang sudah disetting kalah. Perwakilan kota harus juara,” ucap sang guru perempuan itu masih dengan muka penuh kecewa.

Sekitar satu jam sebelumnya, aku dipastikan menjadi pecundang dengan label juara kedua. Dari dulu hingga sekarang, menjadi yang kedua berarti yang paling merasakan kecewa, kecewa karena semua begitu dekat, namun pada akhirnya tidak berarti apa-apa. Aku melihat sang juara pertama, dari kecamatan kota, dipeluk oleh guru-guru yang selama ini mendukungnya. Dia akan melanjutkan lomba ke tingkat selanjutnya, yang sampai sekarang tidak tahu apakah tingkat provinsi atau karesidenan.

Guru-guru dari SD pusat di kecamatan yang dalam sebulan terakhir membimbingku bersiap dalam lomba ini sehingga aku harus absen belajar di sekolah berbincang-bincang dengan ketus. Mereka kecewa karena sama sekali nggak diberitahu soal ada mekanisme menjawab soal yang berbeda saat sesi final tiga besar, dimana aku adalah salah satu yang terlibat di dalamnya.

Dalam sesi final itu, aku hanya bisa menjawab dua dari sepuluh pertanyaan. Bukan karena aku nggak tahu jawabannya atau kurang cepat mengacungkan jari, tapi terjebak dalam sebuah peraturan yang baru diungkap sebelum sesi final dilakukan. Sementara sang juara, terlihat begitu tenang dan sangat siap dengan peraturan tersebut, sehingga meski hanya menjawab lima pertanyaan dengan benar, dia yang jadi pemenang. Yang juara ketiga? Dia malah nggak mendapat poin sama sekali karena nasibnya sama denganku, kebingungan dengan peraturan menjawab yang membuatnya juga didiskualifikasi di beberapa pertanyaan.

Di sesi pertama dan sepuluh besar, aku selalu jadi yang paling banyak menjawab pertanyaan dengan benar. Baik itu di sesi pertanyaan yang hanya diberikan kepadaku atau rebutan, aku menjadi yang tercepat menjawabnya. Maklum, lomba mata pelajaran yang kuikuti adalah IPS, ilmu yang sampai sekarang memang jadi “kekuasaanku”.

Kegilaanku dalam membaca berbagai hal, termasuk koran dan buku-buku geografi, dan sekarang berlanjut dengan informasi dari internet membuatku tahu banyak hal soal geografi, geologi, dan apapun tentang ilmu sosial. Aku adalah pecandu informasi baru, hingga selalu ingin tahu apa yang terjadi di hampir semua sudut di bumi ini.

Hanya di sesi final tiga besar, peraturan menjawab pertanyaan berubah total. Nggak ada lagi aturan siapa paling cepat mengacungkan diri jadi yang berhak menjawab. Harus ada semacam ketukan penghapus di meja dua kali dengan jeda yang cukup panjang dan barulah yang mengacungkan diri paling cepat diberi hak menjawab.

Di sebagian besar pertanyaan, aku mengacungkan diri paling cepat, tapi di antara ketukan pertama dan kedua. Alhasil, aku didiskualifikasi nggak boleh menjawab, sekaligus memberikan waktu bagi siswa yang juara itu berpikir dan menemukan jawaban yang tepat, jawaban yang sudah kuketahui dan terkadang bahkan tanpa sengaja keceplosan usai mengacungkan diri.

Saat lomba IPS di tingkat kecamatan, sebenarnya aku tidak diberikan persiapan sama sekali. Pihak sekolah juga hanya mengirim murid sesuai dengan perminatannya saja. Uniknya, di tingkat ini, aku yang dari SD pelosok mengalahkan perwakilan dari SD pusat kecamatan, anak dari seorang pria kaya yang sedang merenovasi rumahnya, yang mana salah satu pekerja renovasinya adalah bapakku.

Usai lomba, sang anak perempuan itu tahu kalau bapakku hampir setiap hari ada di rumahnya. Dia menghampiriku sembari mengobrol kecil. Tak ada rasa kecewa darinya karena toh itu hanya lomba kecil. Hal yang sama juga kurasakan saat aku hanya jadi juara kedua di tingkat kabupaten. Aku justru merasa lega karena hal ini berarti aku bisa kembali belajar di sekolah dan nggak lagi terbebani dengan harapan para guru-guru pembimbing yang sangat berat.

Sang anak perempuan yang kukalahkan itu kemudian melanjutkan sekolahnya di SMP dan SMA favorit di Kota Semarang. Entah di mana dia kuliah atau seperti apa kariernya sekarang, tapi mungkin sangat kontras dengan jalan sekolahku yang “berpindah-pindah” hingga membuatku kebingungan.

Kata “berpindah-pindah” memang benar-benar kualami saat bersekolah. Setengah tahun TK di Ciamis lalu kuhabiskan setengah sisanya di Purbalingga. Saat SD, aku yang sudah menikmati fase bersekolah di SD Inpres yang rutin diberi jajanan makanan tambahan oleh pemerintah setiap tiga hari sekali ini kemudian harus berganti ke SD di Negeri Para Komuter di Pantura.

Aku yang sudah bersiap akan melanjutkan SMP di Purbalingga kota pun harus banting setir menyiapkan diri melanjutkan di SMP di sebuah kecamatan yang dekat dengan Ibu Kota Provinsi, namun jauh dari pusat kabupaten.

Sayangnya, saat sudah mempersiapkan diri melanjutkan ke SMA dengan harapan bisa meneruskan minatku pada IPS dan sejenisnya, aku diminta untuk bersekolah di STM yang nggak kunjung aku mengerti hingga lulus. Setelahnya, aku masuk kuliah di jurusan Bahasa Inggris hanya karena Bahasa Inggris jadi satu-satunya pelajaran yang aku mengerti saat STM.

Untungnya, fase kuliah selama lima tahun jadi fase belajar paling kunikmati dalam hidup. Teman-teman yang baik, dunia baru yang menyenangkan, hingga kesempatan untuk mengembangkan diri paling terasa hingga sekarang. Meski pada akhirnya nggak melanjutkan ke minat di bidang geografi, geologi, tata kota atau sejenisnya, fase ini seperti nggak pernah kusesali dalam hidup.

Lagipula, ilmu yang kusukai bisa dipelajari di mana-mana. Dari buku, internet, atau bahkan dari apa yang aku lihat di televisi. Semua tinggal apakah kamu mau memaksimalkannya untuk memuaskan rasa ingin tahumu atau tidak.

Ahh iya, sembari menulis ini, tiba-tiba saja aku teringat dengan masa SMP-ku yang absurd karena sudah mengetahui ada teman-teman sepantaran yang terlibat dalam prostitusi, hubungan sesama jenis, dan penggunaan narkoba. Hanya, yang teringat justru sesi bersepeda saat berangkat atau pulang.

Ada satu gadis, rambutnya pendek lurus hampir sebahu, badannya sangat kecil, dan entah mengapa selalu mengingatkanku pada Vicki Zhao. Kita nggak sering bersepeda bareng, tapi selalu antusias saat bisa melakukannya bersama. Dia mengayuh sepeda mini berwarna merah, dan aku mengayuh sepeda jengki hijau tua berwarna hijau.

Saat menjelang akhir kuliah, kami yang berbeda universitas meski sama-sama di Kota Semarang terkadang berkirim pesan SMS dan menceritakan satu sama lain apa yang dialami saat kuliah. Entah mengapa, saat itu dia mengaku dulu aku adalah cinta pertama, dan aku juga mengaku dia adalah cinta pertamaku.

Nggak, kita nggak pernah sekalipun menjalin hubungan serius. Kita bahkan seperti menahan diri menjadi teman saja dan menyadari kalau meski sama-sama cinta pertama, saat itu adalah cinta monyet yang kalau dipikir-pikir menarik buat lucu-lucuan dan kenangan saja. Yang untungnya adalah kenangan yang justru terasa lebih manis, bukannya kemudian jadi kenangan buruk karena pertengkaran dan hal-hal buruk lainnya karena memaksakan diri melakukan hal-hal yang lebih dewasa dari usia sebenarnya.

--

--