Hitomi no Juunin

Subagio
4 min readDec 22, 2020
Tiket konser L’arc en Ciel (everyshalalala.wordpress)

Pagi itu suasana di kos-kosan di Blunyahrejo cukup cerah, tapi aku enggan untuk segera bangun atau ke kamar mandi meski tv hanya menayangkan episode Spongebob yang sudah diulang puluhan kali. Di luar kamar, ada sejumlah mahasiswa yang sudah memanaskan mesin motornya hingga aroma knalpotnya sedikit masuk ke dalam kamar. Tiba-tiba, ada pesan SMS masuk ke ponsel jadulku.

SMS itu datang dari Tami. Sebenarnya, secara garis keluarga, dia harus kupanggil bibi. Tapi karena usianya lebih muda dari aku, walau tidak banyak, aku biasa memanggilnya langsung dengan namanya. Dia juga terbiasa memanggilku dengan mas.

Meski masih satu keluarga besar, kita jarang bertemu karena memang keluarganya tinggal di ujung barat Pulau Jawa. Meski begitu, samar-samar kami masih bisa mengingat kalau saat kecil kita sering bermain bersama di rumah keluarga besar di Purbalingga. Entah apa yang kita mainkan saat itu, yang pasti hal itu membuat kita seperti memiliki keterikatan saudara yang dekat, meski sekarang jarang kontak.

SMS itu berisi pesan malu-malu, tapi aku sangat bisa mengerti mengapa dia mengungkapkannya kepadaku. Ya apa lagi kalau karena Tami mempercayaiku sebagai saudaranya. Dia tahu aku sudah kerja di Jogja, sementara kondisinya adalah mahasiswa di sebuah kampus negeri terbaik di Jawa Barat. Semua tahu lah di masa-masa mahasiswa keuangan pasti ndak benar-benar lega kecuali kamu dari kalangan sultan.

“Mas, aku boleh pinjem uang. Sebenarnya agak konyol, tapi aku pengin banget melihat konsernya L’arc en Ciel. Mereka mau datang ke sini sebentar lagi. Aku nggak tahu kapan lagi mereka akan datang ke sini, bisa jadi tahun depan mereka bubar juga. Jadi, mungkin ini satu-satunya kesempatanku melihat mereka. Bolehkah?”

Sebagaimana pemuda 24 tahun yang nggak kepikiran nyari pasangan atau menikah sebagaimana banyak orang santai di Jogja sehingga bisa nabung, aku tanpa pikir panjang mengiyakannya. Dan sisanya adalah kata-kata menyenangkan yang selalu datang darinya kepadaku hingga saat ini.

Tami bercerita banyak tentang konsernya. Meski tiket yang dia beli membuatnya di lokasi yang sangat jauh dari posisi band. Nggak masalah buatnya. Itu adalah seperti pengalaman magis, pengalaman yang memang bisa jadi hanya bisa dirasakan sekali dalam hidup. Dia menangis saat menonton konser itu. Entah seperti apa dia mengingat konser itu sekarang karena sudah berlalu delapan tahun yang lalu.

Hal yang sama diceritakan oleh temanku yang pernah melihat konser Coldplay. Ya nggak mungkin di Indonesia, kan mereka males ke sini. Dia mengaku sensasi magisnya mungkin bagi orang seperti orang relijius yang pertama kali bisa melihat Kabbah atau Vatikan. Teringat selamanya.

Aku bukan orang yang sering melihat konser atau pertunjukan musik. Cenderung lebih sering melihat gig-gig kecil sejak zaman kuliah. Lucunya, gara-gara pertunjukan musik di kampus sastra pula, aku bertemu dengan perempuan yang sekarang jadi istri.

Acara pertunjukan musik itu disponsori oleh rokok. Kebetulan ada kuis yang membuat orang yang berani maju mendapatkan hadiah semacam kaus merah bertuliskan “Pria Punya Selera” gede gitu. Dan aku salah satu orang yang mendapatkannya.

Setelah turun panggung karena mengambil hadiah, aku duduk di sisi utara kampus, melihat ke sisi selatan ke seorang gadis dengan rambut sebahu berponi sedikit acak-acakan. Dia masih memandangi teman-teman se-gengnya yang asik mengobrol. Dan entah mengapa aku terus memandanginya tanpa alasan yang jelas.

“Eh, siapa ya gadis itu, mungkin nggak ya jadi jodohku,” batinku saat itu, nggak mengerti mengapa kenal saja belum, kok sudah kepikiran bakal jadi jodoh apa nggak.

Beberapa tahun yang lalu, usai kita menikah, dia mengaku heran mengapa aku seperti orang gila nggak tahu malu saat ikut kuis di panggung padahal dilihat banyak orang. Dia juga lebih heran mengapa beberapa hari kemudian aku dengan malu-malu mengajaknya berkenalan. Padahal, ada puluhan pria lain yang juga sebelumnya mengajaknya berkenalan.

Beberapa kali kita melihat konser atau gig setelah itu. Ya yang dekat dengan kampus saja. Hanya, karena kondisi sempat membuat kami berpisah sementara. Khususnya saat aku di Jogja dan dia masih menyelesaikan kuliahnya.

Konser terakhir yang aku lihat di Jogja. Saat itu, ada Adhitia Sofyan dan Maliq & D’Essentials. Aku bisa berada persis di depan panggung sehingga bisa mengambil beberapa foto yang menarik. Hanya, saat konser itu juga aku seperti menyadari usiaku sudah lebih tua dari kebanyakan penonton yang berasal dari kalangan mahasiswa atau SMA. Kebetulan saat itu aku nggak sendirian dan ditemani sejumlah teman, jadi ya setidaknya walau tua ada temennya, wqwqwq.

Usai bertemu dengan teman di kawasan Myeongdong dan akan pulang ke apartemen temanku di pinggiran Seongnam, aku melihat sejumlah pengamen di kawasan stasiun. Dari muka-mukanya, aku menduga mereka dari kawasan Amerika Latin.

Lagu yang mereka dendangkan pun lagu Latin, tapi nadanya sangat familiar dan sering kudengar.

Kala kupandang kerlip bintang nan jauh di sana,” tapi dengan bahasa Spanyol.

Saat itu aku baru sadar kalau lagu Kopi Dangdut jiplakan dari lagu luar negeri. Tapi entah mengapa, bersama dengan warga lokal lainnya, kita seperti terhipotis dengan suara dan alunan gitar latin sampai usai. Anggap saja seperti melihat konser gratis karena saat itu aku kere jadi nggak mau ngasih recehan buat mereka.

Aku kemudian beranjak masuk ke dalam stasiun. Tapi saat memasuki sejumlah kios-kios perbelanjaan, terdengar lagu lain yang jauh lebih familiar karena sangat populer bagi anak-anak muda seusiaku di Indonesia.

Lagunya Mocca berjudul “Secret Admirer” terdengar nyaring. Sejumlah anak muda Seoul yang sedang berjalan dengan mantel-mantel tebal, sepatu boots tinggi, tapi rok mini sehingga paha tak tertutupi terlihat ikut mengikuti alunan liriknya. Ternyata lagu ini juga populer di sana.

--

--