Entah Sampai Kapan Kita Masih Bisa Berteman

Subagio
7 min readJul 20, 2021

Tidak ada satupun orang di rumah saat itu selain aku. Kebetulan nggak ada kuliah di hari itu dan aku hanya bersantai di rumah saja. Tiba-tiba pintu rumah diketuk dengan cepat dan keras. Terdengar juga suara perempuan tua yang seperti meminta tolong.

Siang itu, nggak seperti biasanya Mbah Minah datang ke rumah. Kita memang tetangga namun rumahnya dan rumah bapakku di Negeri-Para-Komuter dibatasi tegalan kecil yang kini jadi kebun jambu air. Di usianya yang sudah lumayan renta, dia harus berlarian melewati tegalan yang nggak rata tersebut untuk bertandang.

“Mas, tulung tilikke Mbah Guru, kok meneng ae wes tak undang-undang,” mintanya dengan penuh gusar.

Mbah Guru adalah suaminya. Aku sendiri sudah lupa siapa nama aslinya. Seantero desa mengenalnya sebagai Mbah Guru karena memang dulu sebelum pensiun blio berprofesi sebagai guru. Profesi pendidik seperti menandakan kelas sosial yang dihormati dengan jasa tiada tara bagi ratusan orang yang mendapatkan ilmu dari orang-orang sepertinya.

Aku yang melihat kepanikan di raut muka Mbah Minah langsung berlari ke rumahnya. Begitu masuk ke kamarnya Mbah Guru, yang kulihat adalah wajah laki-laki tua yang sudah sangat renta terkulai di atas kasur. Kulitnya sudah penuh dengan keriput. Sudah beberapa tahun ini blio nggak lagi bisa bicara dengan normal karena pernah diserang stroke. Berjalan pun harus berpegangan pada tembok kayu rumahnya.

Matanya sudah tertutup, tapi di ujung matanya sudah keluar air mata dan mengalir hingga ke pipi bawah. Napasnya sudah tak ada. Saat aku cek nadinya, sudah tak ada denyutnya. Aku cek lagi di dada kirinya, sudah nggak terdengar lagi jantungnya bekerja. Mbah Minah baru bisa menyusulku ke kamar, dan aku bingung harus berkata apa.

“Ngapunten mbah, Mbah Guru mpun sedo.”

Yang kulihat berikutnya adalah hal mengerikan yang membuatku trauma. Mbah Minah hanya terduduk lemas di dekat pintu dan langsung menangis begitu saja. Sesekali dia mengucapkan kalimat tak beraturan. Tapi intinya bisa kutangkap: dia nggak kuasa kehilangan orang yang sudah menemaninya puluhan tahun hidup bersama.

Seumur hidup aku nggak pernah menyangka akan mengalaminya; memastikan seseorang meninggal di depanku sendiri, memberitahukannya ke orang yang bakal paling kehilangan, dan mau nggak mau harus tetap di sana mendengarkannya meratapi kalau dia akan sendirian di sisa hidupnya. Diam, dan tak tahu apakah harus tetap di sana, atau pergi mencari bantuan orang lain namun tak tega meninggalkannya sendirian.

Hanya berselang beberapa bulan kemudian, Mbah Minah menyusul suaminya meninggal.

Sejak kejadian itu, pandanganku tentang kematian berubah total. Aku hanya diam dan nggak lagi mampu bertanya kepada orang yang berduka saat melayat. Membayangkan mereka harus menceritakan apa yang mereka lihat tentang orang tersayangnya di saat-saat terakhir hingga puluhan atau ratusan kali berulang-ulang pasti semakin memperdalam luka yang sudah mereka rasakan.

Sayangnya, sejak beberapa bulan lalu, trauma tentang kematian dan wajah-wajah orang yang kehilangan itu datang bergantian dan mengacaukan kewarasanku berkali-kali.

— — — — — — — — — — — -

Sudah kali kedua remaja ini mengalami henti napas. Yang pertama disadari oleh istriku, dan aku langsung melakukan CPR dengan berkali-kali menekan dadanya. Dia kembali mengembuskan napas sehingga membuat kami berdua sedikit lega.

Istriku perlu mengurus anak sehingga aku pun ditinggalkan sendirian mengawasinya yang masih nggak sadar. Napasnya terlihat lemah, tapi aku terus memperhatikan gerakan di dada dan perutnya sembari menunggu orang lain datang dan membantu. Sayangnya, yang kutakutkan kembali terjadi, dia kembali nggak bernapas.

Panik dan hanya sendirian, aku yang nggak punya pengetahuan CPR lengkap kembali menekan dadanya berkali-kali, berusaha membuatnya kembali bernapas. Napas bantuan nggak bakal berguna karena rahangnya seperti terkunci dan giginya sama sekali nggak bisa dibuka.

Hampir satu menit yang kudengar hanya suara dengusan setiap kali dadanya kutekan, tapi jelas dia masih belum bernapas. Aku semakin panik, dan bayangan tentang wajah Mbah Guru dan Mbah Minah yang sudah lama terpendam kembali muncul.

“Duh, ndak yo aku bakal ndelok wong meninggal nang ngarepku meneh? Tulung ojo, lah, Ya Allah ojo meneh” Pikiran ini terngiang dan membuatku ketakutan setengah mati.

Aku berteriak memanggil-manggil istriku, tapi posisinya entah di mana saat itu. Selain itu, teriakanku kalah telak dari suara kaset murottal dari TOA masjid sebelah rumah sebelum Jumatan. Aku hanya panik, sendirian, dan putus asa sembari terus menekan dadanya berkali-kali dan berharap mungkin saja ada keajaiban.

Dan keajaiban itu datang, dia mendengus dengan keras dan lumayan panjang. Aku melihat dada dan perutnya kembali bergerak menarik udara. Meski setengah sadar, matanya sedikit terbuka. Aku berteriak seperti orang gila mensyukurinya kembali bernapas dan terus memintanya nggak lagi menutup mata.

Bulu kudukku merinding, dan seluruh tubuhku gemetaran. Begitu istriku datang, tangisku pecah karena traumaku kembali muncul, dan bertambah lagi dengan trauma yang baru; melihat seseorang yang berusaha kulindungi seperti keluargaku sendiri, sempat berusaha bunuh diri.

Trauma itu bertahan berhari-hari, berminggu-minggu, dan mengacaukan kewarasanku.

— — — — — — —

Namanya Ari Nuryanto, biasa dipanggil Ari Bulet, sebagai pembeda dengan panggilanku yang punya nama depan yang sama, dan di akhir masa kuliah, dia juga dipanggil dengan Marin. Adik-adik angkatan kuliah juga ada yang memanggilnya dengan Mas Imut. Dia adalah satu teman yang kali pertama kukenal saat masuk kuliah.

Impresi pertamaku tentangnya adalah dia langsung sok kenal dan sok akrab kepada siapa saja saat upacara penyambutan mahasiswa baru di Kampus Sastra Undip bawah yang gedungnya mirip Puskesmas tahun 1970-an, termasuk kepada cewek-cewek yang jumlahnya memang lebih mendominasi di kampus ini.

Aku agak keheranan dengan tingkat kepercayaan dirinya yang sangat tinggi. Tapi kemudian hingga waktu berlalu, aku menyadari perilakunya yang akrab terhadap siapa saja ini ternyata memang tulus, dan hal itu membuatnya disukai begitu banyak orang di kampus, dari dosen, staf kampus, hingga mahasiswa dari berbagai angkatan.

Ari Bulet selalu berpenampilan rapi. Kau akan melihatnya seperti pegawai kelurahan setiap kali datang ke kampus. Penampilannya memang cenderung old school, gaya bicaranya juga akan mengingatkanmu pada orang-orang di desa yang sering dimintai pendapat terkait dengan masalah paguyuban warga sekitar.

Kulitnya bersih, karena memang dia mandi lima kali sehari, selalu mandi sebelum waktu salat tiba. Dia ingin benar-benar memastikan saat menghadap-Nya, tubuhnya dalam kondisi paling suci dan pantas. Meski begitu, dia hampir selalu bertelanjang dada saat di kos-kosan.

Di awal-awal masa kuliah, aku sering mampir ke kosannya di kawasan Kusumawardhani. Aku masih ingat betul dia bahagia sekali mendapatkan susu dari Dennis, gadis paling populer di angkatanku dan langsung jadi incaran banyak senior-senior karena paras dan kecerdasannya. Dengan konyol, susu yang seharusnya tinggal dia minum itu dia didihkan hingga rasanya jadi nggak karuan. Tapi, dia tetap meminumnya.

“Sing tak eling sing ngkei ayu Ri, hahaha,” ucapnya kepadaku sembari beberapa kali menyebut rasa susunya seperti gosong dan nggak enak.

Kosannya kemudian berpindah ke Pleburan 45, dan entah bagaimana ceritanya, kosan tersebut berubah jadi semacam basecamp bagi begitu banyak anak-anak angkatanku berkumpul. Bisa dikatakan, sebagian kenangan teman-temanku kuliah adalah tempat kosnya yang hampir setiap hari pasti kita kunjungi walau hanya sekadar untuk nongkrong, nggosip, atau mengurus berbagai hal soal perkuliahan.

Di sebagian besar foto-foto yang aku ambil selama kuliah, pasti ada Ari Bulet di sana. Di hampir banyak acara-acara bersama anak-anak seangkatan, pasti ada dia di sana. Entah hanya diam mendengarkan, atau mengeluarkan cerita unik yang hampir pasti bakal kita perhatikan karena pasti baru dan menarik, kehadirannya pasti terasa.

— — — — — — — — —

Ada yang bilang, kelulusan sekolah, wisuda kuliah, dan acara pernikahan sebenarnya hampir tak ada bedanya dengan perpisahan sebelum kematian. Terkadang, aku pikir hal itu benar adanya. Ada banyak teman yang setelah lulus kuliah, nggak sekalipun kita melihat wajahnya lagi atau sekadar menyapa di media sosial.

Ada sahabat yang kemudian nggak lagi akrab usai menikah karena fokus dengan keluarganya. Ada juga yang setelah menikah, bekerja di tempat yang jauh sehingga sulit untuk bertemu, dan sayangnya, hal itu juga yang kualami dengan Ari Bulet.

Usai keluar dari kerjaanku di Jogja, aku masih sempat mampir ke kos Pleburan 45 dan bertemu dengannya dan teman-teman lainnya. Dan nggak aku sangka, mungkin di masa-masa itulah terakhir kali kami benar-benar masih bisa berkumpul bersama karena kemudian satu demi satu kami menikah dan memiliki kehidupan sendiri-sendiri.

Setiap kali ada acara pernikahan, tanpa disadari itu seperti menjadi salam perpisahan. Dan di hari pernikahannya pula, aku terakhir kali bertemu Ari Bulet.

Juni kemarin, aku dan teman-teman akrabku saat kuliah sempat bertemu. Di sana, kita berharap usai pandemi bisa berkumpul lagi dengan lebih lengkap. Aku sendiri ingin kembali mengambil foto semua teman-temanku sebagaimana saat kuliah dulu.

Hanya, beberapa hari usai pertemuan itu, yang kuterima adalah foto Ari Bulet yang bertemu dengan Iwan yang mampir di tempatnya berdomisili. Tak kusangka, foto itulah kenangan terakhir tentangnya yang kami lihat sebelum dia meninggalkan kami selamanya.

Pandemi merenggut Alfi, suami dari sahabat istriku, di mana satu gengnya bahkan sudah berencana untuk berkumpul kembali suatu hari nanti. Meski bukan karena Covid, temanku di Jogja, Tommy Sinaryuda juga wafat. Padahal, salah satu alasan terkuat mengapa aku selalu merindukan Jogja adalah keberadaan teman-teman baik sepertinya.

Setiap kali kabar kehilangan itu datang, aku hanya bisa mengenang betapa banyak hal-hal baik dari orang-orang yang pergi yang pernah diberikan kepadaku, dan aku belum sempat membalasnya, dan saat nanti pandemi usai dan kita bisa berkumpul kembali, akan ada lubang menganga yang nggak akan pernah bisa kita isi. Lubang itu akan selamanya ada di sana dan membuat kita seperti ada yang kurang.

— — — — — — — — -

Usai kelulusan kuliah dan kita teman-teman seangkatan bertemu, entah di kosannya Ari Bulet, entah di Kucingan Balik Maning Pleburan, Bakaran Bang Dul, atau di tempat-tempat lainnya, aku lebih sering diam dan memperhatikan satu per satu teman-temanku saling bertukar ejekan, guyonan, atau silang pendapat yang memang selalu terjadi setiap kali kita bertemu.

Saat malam semakin larut, aku lebih suka menunggu satu per satu dari mereka berpamitan pulang. Intinya, aku nggak mau jadi orang yang pertama pamit dan sebisa mungkin bertahan. Aku merekam memori di setiap waktu itu kuat-kuat hingga nanti beranjak tua, jika memang diberi bonus usia dan bisa menikmati masa tua.

Bisa jadi, saat itu adalah kali terakhir kita bisa berkumpul bersama dengan lengkap, tertawa bersama tanpa kekhawatiran apapun, tanpa ada rasa kehilangan atau ada yang kurang. Bisa jadi, saat itulah kali terakhir kita mendengar suara mereka.

Dan sekarang, sapaan “sehat-sehat selalu ya”, atau “semoga kita bisa bertemu lagi saat pandemi nanti selesai” menjadi kata yang sangat kuat, penuh perhatian, dan rasa sayang.

Yang kita ingat kini hanya kenangan-kenangan baik dari orang yang sudah lama kita nggak temui, dan berharap bisa lagi kita temui suatu hari nanti. Semua kesalahan, rasa kesal, dan benci luluh, yang tersisa hanyalah berharap mereka baik-baik saja, dan mampu bertahan melalui semua ini.

Entah sampai kapan kita masih bisa berteman. Semoga saja lebih lama, jauh lebih lama dari sekarang.

--

--