Bayangan Bambu yang Memanjang Saat Sore di Lapangan

Subagio
5 min readDec 13, 2020
Lapangan sepak bola (Google Street View)

Sore itu sekitar pukul 16.30. Langit cerah karena memang saat itu musim kemarau. Terdengar suara berdengung konstan dari layangan-layangan berukuran besar di langit yang harus diterbangkan dengan tali berukuran besar. Di sekitarnya terlihat burung-burung terbang dengan membentuk formasi ‘V’ ke arah barat.

Awan-awan di langit yang jarang sudah mulai menguning. Suhu sudah berubah menjadi lebih sejuk. Bayangan bambu di barat lapangan sepak bola sudah sangat panjang. Kami, teman-teman satu SMP sudah kelelahan usai bermain bola, berlari-lari, dan berebut lapangan dengan wedhus gembel yang sengaja dibiarkan makan rumput di sana.

Kami tidak membawa minuman dan kehausan, tapi entah mengapa saat itu malas untuk pulang. Lapangan itu memang cukup jauh dari rumah-rumah kami. Lokasinya dekat dengan sebuah sekolah dasar, sawah yang sangat luas seperti tak berbatas, dan sebuah pohon keramat yang dijadikan nama dusun. Di pohon keramat ini, banyak orang menempatkan sesajen, meminta wangsit untuk memasang nomor judi, atau dijadikan tempat berdoa bersama masyarakat di hari-hari tertentu.

Kami semua hanya tiduran di atas rumput yang lembut. Aroma rumput memang sangat khas dan menenangkan. Sengaja kami tiduran jauh dari tempat kambing-kambing buang kotoran. Bayangan pohon bambu sudah menutupi matahari dari pandangan kami. Kami pun mengobrol banyak hal sembari melihat awan yang bergerak lambat dan menikmati angin yang mengeringkan keringat.

Saat bermain bola, kaki kiriku lebih baik untuk menendang daripada kaki kanan. Tapi aku nggak bakat berlari apalagi menggiring. Alhasil, kalau tidak dijadikan bek, aku pasti diminta untuk menjadi kiper. Padahal, ya mudah kebobolan juga. Tapi, namanya juga anak-anak, tak ada yang peduli kamu berbakat atau tidak bermain bola. Asalkan kamu mau berlari dan merebut bola, semua tertawa dan tak peduli berapa skor pertandingan. Semua hanya bahagia karena bisa bermain bola bersama-sama.

Widi, salah satu temanku dengan ukuran badan paling besar di antara kami sehingga membuatnya dipanggil Giant tiba-tiba saja membuat pertanyaan konyol sembari memeluk bola.

“Di antara kita semua nanti, siapa yang akan pertama kali menikah, ya?”

Kita semua yang ada di kisaran usia 12–13 tahun tertawa mendengar pertanyaan yang sama sekali belum pernah terpikirkan itu. Hanya, karena Widi adalah satu-satunya di antara kami semua yang memiliki pacar di SMP, kami langsung menuding dirinyalah yang nanti akan pertama kali menikah.

Lucunya, tebakan kami benar. Dia memang jadi yang pertama. Dan berbeda dari kultur di desa kami di mana anak-anak muda terbiasa menikah di usia awal atau kurang dari 20, kebanyakan dari kami menikah di usia yang jauh lebih tua, kecuali Widi tentunya.

Usia SMP zamanku sepertinya berbeda dengan usia SMP zaman sekarang. Orang-orang seperti Widi yang sudah berpacaran adalah orang-orang yang langka. Kebanyakan dari kami masih suka benar-benar menjadi anak yang bermain ke mana-mana.

Lagipula, saat itu nggak ada pengaruh media sosial yang sangat bebas itu. Acara televisi yang berkualitas bagi anak-anak seperti Nat Geo atau BBC earth juga masih lebih sering kami lihat di TV nasional. Saat itu, sinetron sangat membosankan bagi anak muda dan lebih cocok bagi orang-orang tua.

Aku lebih suka bersepeda ke mana-mana. Lagipula, pemandangan di sekitar desaku tinggal lumayan menyenangkan. Aku paling suka melewati jalan yang di sisi kiri dan kanannya masih dipenuhi pohon yang rimbun.

Jalan ini seperti terowongan hijau karena daun-daun dari pohon di sisi kiri sudah saling menjabat daun-daun dari pohon sisi kanan jalan. Di bawah pohon-pohon pelindung itu, terdapat hamparan hijau rumput yang dibatasi sungai kecil. Meski sungai itu selalu keruh, dipenuhi sampah, dan dijadikan tempat buang air besar, tetap saja pemandangan itu sangat menyenangkan.

Di jalanan Tumpi yang dihiasi terowongan hijau pepohonan, ada penjual dawet. Seringkali, saat pulang bersepeda dari SMP yang jauhnya 5 km dari rumah, kami mampir di sana. Makan dawet di tempat. Pemandangan dan semilir angin yang sejuk bisa membuat kami mengantuk. Beruntung, tempat duduk penjual dawet yang terbuat dari batang bambu itu ada sandaran punggungnya. Kami pun bisa lama-lama bersantai di sana sebelum pulang ke rumah.

Hanya, terkadang perjalanan bersepeda pulang dari SMP juga bisa sangat mengerikan. Apalagi saat di puncak musim hujan. Sudah jadi rahasia umum puting beliung pasti mampir setidaknya setahun sekali di wilayah tersebut. Di sisi-sisi terowongan hijau, adalah sawah lepas yang sangat luas. Angin bisa dengan menghempaskan kami yang bersepeda dan hanya dilindungi jas hujan plastik tipis.

Mengayuh pedal bisa terasa sangat berat. Kami juga ketakutan kalau tiba-tiba ada dahan atau batang pohon yang menimpa. Derasnya butiran hujan juga membuat mata sulit dibuka. Namun, kalau tak kunjung pulang ke rumah, bisa menggigil kedinginan sampai sore.

Kebersamaan dengan teman-temanku praktis berakhir saat kami lulus SMP. Sekolah-sekolah kami terpisah, tapi entah mengapa kami menolak untuk meneruskan tradisi nggak lanjut sekolah karena jadi kuli bangunan yang masih sering dilakukan hingga sekarang.

Bahkan, lebih dari itu, kami mau bersekolah jauh-jauh ke Kota Semarang dan harus berangkat dari rumah setiap pukul 05.30 setiap pagi. Padahal, kebanyakan siswa seangkatan kami memilih SMA atau SMK yang masih di wilayah Kabupaten Demak.

Setiap tahun kami biasanya melakukan reuni kecil, yang pada akhirnya berhenti usai salah satu teman kami meninggal karena kecelakaan. Satu per satu dari kami kemudian membangun keluarga sendiri-sendiri sehingga akhirnya hanya saling menyapa saat salat jumat, atau sekadar bertemu di suatu tempat.

Entah mengapa, kami juga tidak membentuk grup whatsapp atau grup alumni. Saat mengobrol, kita sekarang seperti tidak lagi nyambung karena memang dunia yang dihadapi sekarang berbeda satu sama lain.

Saat itu adalah hari terakhirku datang ke SMP. Aku mengambil ijazah sesuai dengan jadwal yang ditentukan sekolah. Sebagaimana di hari-hari biasanya selama tiga tahun, aku mengayuh sepeda jengki berwarna hijau tua ke sana. Kami satu geng kemudian hanya mengobrol bersama di sekolah sebelum kemudian memutuskan untuk pulang sendiri-sendiri.

Sudah tak ada lagi waktu untuk bermain bola bersama di tanah lapang timur desa. Sudah tak ada lagi kesempatan untuk menikmati dawet di Tumpi, karena penjualnya juga sudah digusur. Oh ya, kemarin aku barusan lewat, terowongan hijau itu masih ada, meski di sisi kiri kanan sudah dipenuhi dengan bangunan, nggak lagi sawah luas yang dipenuhi tembakau.

Lapangan tempat kami bermain sepak bola sudah tak terurus. Tanahnya sudah nggak lagi rata dengan rumput liar yang semakin menggila. Kebun bambu itu juga habis berganti dengan beton. Sudah tidak ada lagi sepak bola di sana.

--

--