Aroma Rumput Musim Panas

Subagio
4 min readFeb 9, 2021
Ilustrasi, taman bunga saat musim panas di Korea. (hanachrisantyjioe.blogspot)

Hari ini tiba-tiba Ratri mengirim pesan Whatsapp. Isinya hanyalah berupa gambar parfum yang baru saja dia dapatkan. Sebenarnya ini agak aneh karena sudah sejak lama dia tahu aku alergi dengan parfum. Meski begitu, tujuannya hanya menunjukkan kalau Seoul, Ibu Kota Korea Selatan, jadi nama varian dari parfum tersebut.

Your favo city as a perfume,” tulisnya.

Aku justru tertarik dengan tulisan di bawah kata Seoul pada parfum tersebut: “532–8 Sinsa Dong, Gangnam-Gu.” Ratri pikir itu hanya seperti kode-kode tambahan saja. Namun, aku tahu kalau itu adalah sebuah alamat. Setelah mencarinya di Google Street View, sayangnya aku nggak mengerti alasan mengapa pembuat parfum yang diproduksi Zara ini memutuskan untuk mencantumkan alamat tersebut.

Sebagai orang yang nggak hanya “menikmati” aroma parfum namun juga bisa “membaca” parfum, entah mengapa Ratri tergelitik untuk bertanya lebih banyak tentang parfum ini. Dia kemudian bertanya tentang seperti apa musim panas di Seoul dan bagaimana udaranya.

Dan entah mengapa yang terpikir di kepalaku hanyalah sebuah taman tempat pertama kali aku singgah usai turun dari Bandara Incheon dan naik bus lumayan lama. Tempat itu adalah Seoul Olympic Park.

Meski kebanyakan aktivitas kami ada di dalam gedung, realitanya para relawan dari berbagai negara dan benua ini sempat diajak jalan-jalan berkeliling taman yang sangat luas ini. Salah satu yang masih aku ingat betul adalah kami berjalan di semacam jalan kecil dengan sisi kiri dan kanan bunga dan rerumputan.

Angin bertiup pelan dan membuat bunga berwarna-warni cerah tersebut menari. Diiringi dengan suara mendesis khas tumbuhan yang diterpa udara, ada aroma seperti rerumputan atau alami yang sulit aku jabarkan, namun aku tahu persis kalau semua orang pasti menyukainya.

Saat itu hampir maghrib, kami berjalan ke sebuah tempat makan khas Korea yang lokasinya persis di ujung taman. Di situ, aku sempat dikejutkan dengan salah satu relawan dari Seosan, EunMi, yang tiba-tiba saja mengajakku ngobrol dengan Bahasa Indonesia. Ternyata, dia sempat lama tinggal di Jogja. Yang lebih gila, ternyata dia juga teman dari salah satu temanku saat bekerja di Jogja.

- — — — — — — — — -

Orang-orang yang mengenalku sejak lama tahu betul betapa benci aku dengan aroma parfum yang wanginya kuat. Semua ini gara-gara sejak balita hingga SMP aku sering diajak berputar-putar naik bus ekonomi jarak jauh oleh orang tuaku. Aroma parfum yang wangi dan menyengat ditambah dengan keringat di dalam bus yang dipenuhi orang berdesak-desakan memicu trauma tersendiri di otakku.

Perjalanan dari Sukabumi ke Semarang saat aku SMP misalnya. Kondisi hujan, ditambah dengan AC yang nggak terasa, semua pintu dan jendela harus ditutup. Semua terasa pengap dan tenggorokan seperti tercekat.

Ditambah dengan aroma keringat orang-orang yang berada di bus, aroma mengerikan semalaman itu masih terngiang sampai sekarang. Dari Buyaran ke rumah, aku bahkan dengan tegas meminta ibuku untuk naik ojek saja karena sudah nggak lagi kuat kalau harus masuk ke dalam angkudes.

Jadi, kalau ada siapa pun yang memakai parfum, apalagi parfum vanilla yang kuat banget itu. Bisa dipastikan nggak sampai 15 menit kemudian aku akan lari ke kamar mandi dan semua makanan atau minuman yang sebelumnya aku telan keluar semua. You know how to defeat me, now, uhh?

— — — — — — —

Selama tinggal di Negeri Para Komuter Demak, aku mengenal salah satu aroma yang sangat aku sukai; tembakau. Saat bermain layangan atau saat main ke rumah temanku yang sedang merajang tembakau, aromanya terasa unik. Apalagi saat dijemur di depan rumah.

Hanya, kalau sudah jadi rokok, aku sangat membencinya. Bisa dikatakan, aku sengit kalau ada orang merokok sembarangan dan merampas hak kami orang-orang yang ingin menghirup udara segar untuk bernapas.

Beberapa hari setelah pulang dari Korea, aku bahkan sengaja berjalan ke tegalan belakang rumah yang seperti nggak berujung itu, untuk duduk-duduk di antara tembakau yang tingginya sudah melebihi 1 meter. Daun-daunnya yang hijau sudah cukup lebar, sedikit lengket kalau dipegang, dan mengeluarkan aroma yang khas.

Saat itu menjelang maghrib. Matahari sudah sangat dekat dengan tanah. Warnanya merah, bundar sempurna, dan sama sekali nggak menyilaukan mata. Warna langit juga sudah mulai berubah dari kebiruan menjadi jingga.

Suara layangan masih berdengung dan bersahutan dari berbagai penjuru langit. Sudah terlihat lampu-lampu yang dipasang di layangan itu menyala. Sepertinya, mereka akan dipasang semalaman di sana, demi mengeluarkan suara dengungan yang menemanimu tidur dengan nyenyak.

Menariknya, saat sekarang aku tinggal di lereng gunung, aku menemukan aroma yang sangat aku suka juga juga dari hal yang aku hindari. Aku nggak bisa minum kopi karena asam lambungku akan segera meronta begitu cairan ini masuk ke dalam perut. Namun, aroma bunga kopi yang harum seperti membuatku ketagihan.

Tak perlu jauh-jauh mencari bunga kopi dengan warna putih nan rimbun yang bisa menghiasi seisi kebun dengan keindahan ini. Seringkali aku melihatnya usai subuh, saat aku berjalan ke atas kampung menuju tegalan sayur. Usai melewati kebun kopi yang sudah nggak terurus, terlihat pemandangan sekumpulan gunung Merbabu, Merapi, Telomoyo, dan Andong di sisi tenggara, memantulkan cahaya matahari pagi yang hangat di tengah suhu udara yang sangat rendah.

— — — — — —

Ratri sedikit heran dengan penjabaranku tentang musim panas di Seoul. Dia sama sekali nggak menyangka aku akan menjelaskan tentang Seoul Olympic Park, lengkap dengan deskripsi angin yang menggoyang bunga-bunga, suaranya yang mendesis, serta aromanya yang menenangkan.

Mmm… Jung, pantesan parfum ini judulnya Seoul,”

Eh, kenapa?

Tipikal parfum yang seger bau jeruk, sedikit apel, kayak ada bau rumput. Summer scent banget,” jelasnya.

Entah mengapa, aku kemudian ingin berjalan-jalan di taman atau lapangan, merebahkan badan di rerumputan, menghirup aromanya, dan tidur siang dengan nyenyak.

--

--